Buku Tamu

Anda adalah pengunjung ke
free stats

View My Stats

  • Silakan isi Buku Tamu saya. Terimakasih.
  • Lihat Buku Tamu




  • Google




    29 Maret 2008

    Dampak Ketunarunguan terhadap Perkembangan Individu

    Oleh Permanarian Somad dan Didi Tarsidi

    Di antara dampak utama ketunarunguan pada perkembangan anak adalah dalam bidang bahasa dan ujaran (speech). Kita perlu membedakan antara bahasa (sistem utama yang kita pergunakan untuk berkomunikasi) dan ujaran (bentuk komunikasi yang paling sering dipergunakan oleh orang yang dapat mendengar). Besar atau kecilnya hambatan perkembangan bahasa dan ujaran anak tunarungu tergantung pada karakteristik kehilangan pendengarannya. Hambatan tersebut dapat mengakibatkan kesulitan dalam belajar di sekolah dan dalam berkomunikasi dengan orang yang dapat mendengar/berbicara sehingga berdampak pada perkembangan sosial dan keragaman pengalamannya. Ini karena sebagian besar perkembangan sosial masyarakat didasarkan atas komunikasi lisan, begitu pula perkembangan komunikasi itu sendiri, sehingga gangguan dalam proses ini (seperti terjadinya gangguan pendengaran), akan menimbulkan masalah.

    A. Perkembangan Bahasa Anak Tunarungu

    Telah dikemukakan di atas bahwa dalam banyak hal dampak yang paling serius dari ketunarunguan yang terjadi pada masa prabahasa terhadap perkembangan individu adalah dalam perkembangan bahasa lisan, dan akibatnya dalam kemampuannya untuk belajar secara normal di sekolah yang sebagian besar didasarkan atas pembicaraan guru, membaca dan menulis. Seberapa besar masalah yang dihadapi dalam mengakses bahasa itu bervariasi dari individu ke individu. Ini tergantung pada parameter ketunarunguannya, lingkungan auditer, dan karakteristik pribadi masing-masing anak, tetapi ketunarunguan ringan pada umumnya menimbulkan lebih sedikit masalah daripada ketunarunguan berat.

    1. Perkembangan Membaca

    Banyak penelitian yang dilakukan selama 30 tahun terakhir ini menunjukkan bahwa tingkat kemampuan membaca anak tunarungu berada beberapa tahun di bawah anak sebaya/sekelasnya dan bahwa bahasa tulisnya sering mengandung sintaksis yang tidak baku dan kosakata yang terbatas.
    Terdapat bukti yang jelas bahwa berdasarkan tes prestasi membaca yang baku, skor anak-anak tunarungu secara kelompok berada di bawah norma anak-anak yang dapat mendengar, meskipun beberapa di antara mereka memperoleh skor normal untuk tingkat usia dan kelasnya.
    Sejumlah penelitian telah dilakukan selama bertahun-tahun oleh Pusat Asesmen dan Studi Demografik di Gallaudet University di Washington DC. Di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Gentile (1973), yang mengetes lebih dari 16.000 siswa tunarungu dengan Stanford Achievement Test. Dia menemukan bahwa pada usia enam tahun skornya adalah ekuivalen dengan kelas 1,6, naik terus secara perlahan hingga menjadi ekuivalen dengan kelas 4,4 pada usia 19 tahun; kenaikan hanya sebesar 2,8 kelas selama 13 tahun.
    Temuan yang hampir sama dilaporkan di Inggris oleh Conrad (1979), yaitu bahwa mean usia baca anak-anak tunarungu tamatan pendidikan dasar adalah nine tahun 4 bulan, yang berkisar dari 10 tahun 4 bulan untuk tunarungu sedang hingga 8 tahun 3 bulan untuk tunarungu sangat berat.
    Data dari Australia juga serupa. Ditemukan bahwa 66% dari sampel siswa tunarungu usia 11 tahun di negara-negara bagian Australia sebelah timur menunjukkan usia baca lebih dari 4 tahun di bawah usia kalendernya (Ashman & Elkins, 1994).
    Di Selandia Baru, VandenBerg (1971) menemukan bahwa dari semua siswa SLB bagi tunarungu yang berusia hingga 14 tahun, tidak ada yang mencapai usia baca di atas 11 tahun.
    Data di atas tampak menunjukkan bahwa anak tunarungu mengalami kesulitan dalam membaca dan bahwa mereka semakin tertinggal oleh sebayanya yang dapat mendengar di kelas-kelas yang lebih tinggi di mana materi bacaan yang harus dibacanya semakin kompleks. Akan tetapi, Moores (1987) mengemukakan penjelasan lain untuk hasil penelitian tersebut. Sebagian besar penelitian itu dilakukan secara cross‑sectional, tidak mengikuti kemajuan siswa yang sama dan mengetesnya setiap tahun, sehingga mungkin bahwa tingkat kecacatan yang berbeda pada tahun yang berbeda akan mempengaruhi hasil tes itu, dan bahwa pemindahan siswa yang berkemampuan lebih tinggi ke sekolah reguler menyebabkan siswa ini tidak tercakup dalam survey sehingga hasil tes pada usia yang lebih tinggi skor rata-ratanya menurun.
    Satu penelitian oleh Allen (1986) mengatasi persoalan ini dengan melihat data dari hasil Stanford Achievement Test terhadap populasi tunarungu (kategori Hearing‑Impaired) pada tahun 1974 dan 1983. Skor tersedia dari usia 8 hingga 18 tahun, dan dia menemukan bahwa dari tahun 1974 hingga 1983 skor membaca sampel tunarungu itu meningkat setiap tahun.
    Walker dan Rickards (1992) di Victoria, Australia, juga telah memperoleh data yang menunjukkan bahwa anak tunarungu tertentu lebih baik hasilnya pada tes baku prestasi membaca daripada yang dilaporkan sebelumnya.
    Terus meningkatnya skor tes membaca anak tunarungu ini mungkin disebabkan oleh metode pengajaran membaca yang lebih baik. Argumen ini didukung oleh Ewoldt (1981) yang menemukan bahwa proses yang dipergunakan oleh anak tunarungu dalam membaca sama dengan yang dipergunakan oleh anak yang dapat mendengar, dan bahwa bila membaca mereka ditelaah menggunakan teknik yang tepat, ternyata mereka dapat lebih banyak memahami apa yang dibacanya.

    2. Bahasa tulis

    Dalam hal bahasa tulis, terdapat juga cukup banyak bukti bahwa anak tunarungu mengalami kesulitan untuk mengekspresikan dirinya secara tertulis. Dalam beberapa penelitian yang berfokus pada ketepatan sintaksis bahasa Inggris tertulis anak tunarungu, ditemukan bahwa mereka cenderung menggunakan banyak frase yang sama secara berulang-ulang dalam kalimat sederhana, lebih sedikit kalimat majemuk, dan mereka membuat banyak kesalahan kecil dalam penggunaan tenses, kata bilangan, penggunaan kata ganti dan kata penunjuk, dll. Menjelang usia 12 tahun, mereka cenderung dapat menguasai penulisan kalimat-kalimat sederhana, tetapi bila mereka mencoba menulis kalimat yang lebih kompleks, kesalahan-kesalahan kecil muncul lagi. Akan tetapi, belum ada laporan hasil penelitian tentang tingkat keterbacaan tulisan anak tunarungu, tetapi jika penyimpangan-penyimpangan dalam sintaksis diabaikan, bahasa tulis kebanyakan anak tunarungu dapat dimengerti dengan mudah, sehingga penggunaan bahasa tulisnya (yang sering mereka pergunakan untuk berinteraksi dengan orang yang dapat mendengar) biasanya dapat memungkinkan mereka berfungsi dengan cukup baik dalam kehidupan sehari-hari.
    Perlu juga diketahui bahwa terdapat sejumlah orang tunarungu, termasuk yang ketunarunguannya berat sekali, yang dapat mencapai tingkat kemampuan membaca dan menulis yang normal.

    3. Ujaran (Speech)

    Banyak penelitian yang telah dilakukan tentang keterpahaman ujaran anak tunarungu pada berbagai tingkatan ketunarunguannya. Keterpahaman ujaran individu tunarungu bervariasi dari hampir normal hingga tak dapat dipahami sama sekali, kecuali oleh mereka yang mengenalnya dengan baik.
    Hasil penelitian yang terkenal adalah yang dilakukan oleh Hudgins dan Numbers (1942), yang menganalisis ujaran 192 anak tunarungu berat dan berat sekali. Mereka menemukan bahwa kekurarngan dalam ujaran anak-anak ini adalah dalam hal ritme dan pemengalan frasa, suaranya agak monoton dan tidak ekspresif, dan tidak dapat menghasilkan warna suara yang alami. Mereka juga menemukan bermacam-macam kesalahan artikulasi pada bunyi-bunyi ujaran tertentu (kesalahan artikulasi vokal biasanya lebih sering daripada konsonan). Hudgins dan Numbers menemukan bahwa kurang dapat dipahaminya ujaran individu tunarungu itu lebih banyak diakibatkan oleh tidak normalnya ritme dan pemenggalan frasa daripada karena kesalahan artikulasi.

    Terdapat tiga cara utama individu tunarungu mengakses bahasa, yaitu dengan membaca ujaran, dengan mendengarkan (bagi mereka yang masih memiliki sisa pendengaran yang fungsional), dan dengan komunikasi manual, atau dengan kombinasi ketiga cara tersebut.

    a. Mengakses Bahasa Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)

    Hanya sekitar 50% bunyi ujaran bahasa Inggris dapat terlihat pada bibir (Berger, 1972). Di antara 50% lainnya, sebagian dibuat di belakang bibir yang tertutup atau jauh di bagian belakang mulut sehingga tidak kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak sama sehingga pembaca bibir tidak dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa prabahasa. Seseorang dapat menjadi pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuan yang baik tentang struktur bahasa sehingga dapat membuat dugaan yang tepat mengenai bunyi-bunyi yang "hilang" itu. Jadi orang tunarungu yang bahasanya normal biasanya merupakan pembaca ujaran yang lebih baik daripada tunarungu prabahasa, dan bahkan terdapat bukti bahwa orang non-tunarungu tanpa latihan dapat membaca bibir lebih baik daripada orang tunarungu yang terpaksa harus bergantung pada cara ini (Ashman & Elkins, 1994).

    b. Mengakses Bahasa Melalui Pendengaran

    Meskipun dalam lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang dapat dikenali oleh tunarungu berat secara cukup baik untuk memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur sintaksis dan fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi ini tidak berarti bahwa penyandang ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat memperoleh manfaat dari bunyi yang diamplifikasi. Yang menjadi masalah besar dalam hal ini adalah bahwa individu tunarungu jarang dapat mendengarkan bunyi ujaran dalam kondisi optimal. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan individu tunarungu tidak dapat memperoleh manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar yang dipergunakannya. Di samping itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar alat bantu dengar yang dipergunakan individu tunarungu itu tidak berfungsi dengan baik akibat kehabisan batrai dan earmould yang tidak cocok.

    c. Mengakses Bahasa Melalui Isyarat Tangan

    Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa bahasa isyarat yang baku memberikan gambaran lengkap tentang bahasa kepada tunarungu, sehingga mereka perlu mempelajarinya dengan baik. Akan tetapi tidak semua siswa tunarungu menggunakan bahasa isyarat, terutama yang pengajarannya menggunakan metode oral/aural.

    B. Bahasa dan Kognisi

    Hal yang telah lama diperdebatkan dalam bidang pendidikan bagi anak tunarungu adalah apakah ketunarunguan mengakibatkan kelambatan dalam perkembangan kognitif dan/atau perbedaan dalam struktur kognitif (berpikir) individu tunarungu; ini mungkin karena dampaknya terhadap perkembangan bahasa. Sekurang-kurangnya sejak masa Aristotle, orang tunarungu dianggap sebagai tidak mampu bernalar. Pada zaman modern argumen ini mulai dengan munculnya gerakan pengetesan inteligensi selama dan sesudah Perang Dunia I. Dalam tes kelompok yang menggunakan kertas dan pensil yang dilakukan oleh Rudolf Pintner dan lain-lain, dan kemudian dengan tes inteligensi individual, pada umumnya menemukan bahwa subyek tunarungu sangat rendah dalam inteligensinya, dengan IQ rata-rata pada kisaran 60-an atau bahkan 50-an. Akan tetapi, kemudian disadari bahwa meskipun skor tes yang rendah itu dapat mencerminkan adanya defisit bahasa pada individu tunarungu dan akibatnya sering berkurang pula pengetahuannya tentang hal-hal yang ditanyakan dalam tes IQ, tetapi skor tersebut belum tentu mencerminkan kapasitas individu tunarungu yang sesungguhnya bila masalah bahasanya dapat diatasi. Perkembangan alat-alat tes sesudah Perang Dunia II yang memisahkan antara elemen verbal dan kinerja (performance) dalam item-item tes inteligensi, menunjukkan bahwa meskipun rata-rata skor tes verbalnya sekitar 60, yang mencerminkan defisit bahasa testee, tetapi skor rata-rata hasil tes kinerjanya pada umumnya berada pada kisaran normal, baik dalam mean-nya maupun distribusinya, bila subyek tunarungu itu tidak menyandang ketunaan lain. Akan tetapi, kini terdapat kecenderungan meningkatnya jumlah populasi tunarungu yang menyandang ketunaan tambahan, sebagai akibat dari meningkatnya kemajuan dalam bidang kedokteran, sehingga bayi tunarungu yang menyandang ketunagandaan dapat bertahan hidup (Moores, 1987). Akibatnya, secara kelompok, skor tes inteligensi individu tunarungu menjadi lebih rendah.
    Akhir-akhir ini, minat para ahli bergeser dari masalah tingkat rata-rata inteligensi individu tunarungu secara umum serta distribusinya ke masalah struktur kognitifnya dan ke masalah apakah berpikir itu dapat dilakukan tanpa bahasa. Yang paling menonjol dalam bidang ini adalah Hans Furth, yang karyanya dituangkan dalam bukunya yang berjudul Thinking Without Language (1966). Sebagai hasil dari banyak penelitian yang dilakukannya, Furth menyimpulkan bahwa defisit bahasa tidak merintangi orang tunarungu untuk berpikir secara normal, karena bila dia mengontrol pengaruh bahasa terhadap sejumlah besar tugas kognitif, ditemukannya bahwa kinerja subyek tunarungu sedikit sekali perbedaannya dengan sebayanya yang non-tunarungu. Jika perbedaan itu muncul, dia berpendapat bahwa hal itu diakibatkan oleh kurangnya pengalaman atau tidak dikenalnya tugas-tugas atau konsep-konsep yang diujikan, bukan karena defisit kognitif secara umum akibat ketunarunguan dan/atau akibat defisit bahasa. Furth dan rekan-rekan penelitinya menunjukkan bahwa ketunarunguan semata tidak berpengaruh terhadap penalaran, ingatan ataupun variabel-variabel kognitif lainnya.

    Referensi Utama

    Ashman, A. & Elkins, J. (eds.). (1994, pp. 412-422). Educating Children with Special Needs. Sidney: Prentice Hall of Australia Pty Ltd

    Label:

    27 Maret 2008

    Asesmen Anak Tunarungu

    Oleh Permanarian Somad dan Didi Tarsidi

    I. Tujuan Asesmen
    Pendidikan anak tunarungu merupakan proses yang kompleks. Penempatan yang tepat, cara belajar terbaik bagi masing-masing anak (auditori, visual, atau manual), kurikulum, amplifikasi, dan keputusan tentang transisi dari satu lembaga layanan ke lembaga layanan lainnya yang diambil oleh keluarga, sekolah, dan individu, bergantung pada informasi yang reliabel. Informasi semacam ini hanya dapat diperoleh dari hasil asesmen yang baik, yang memperhatikan kekuatan dan kebutuhan anak dalam bidang komunikasi, akademik, intelektual, medis, dan karakteristik audiologis anak, yang harus diterjemahkan oleh orang tua dan guru menjadi tujuan pembelajarannya. Bila perencanaan program pendidikan anak sehari-hari sudah didasarkan atas informasi hasil asesmen tersebut, maka asesmen itu sudah mencapai tujuan utamanya.
    Tujuan-tujuan asesmen anak tunarungu itu mencakup:

    1) Menetapkan baseline level kinerja anak.
    2) Menentukan penempatan yang tepat atau mengubah penempatan.
    3) Mengukur kemajuan anak.
    4) Merumuskan saran-saran untuk pemecahan masalah yang timbul, seperti masalah perilaku, kesulitan perhatian, atau lambatnya kemajuan anak. 5) Mengembangkan tujuan dan sasaran program yang sedang diimplementasikan.

    Seorang diagnostisi akan dapat melaksanakan asesmen yang valid dan memberikan hasil yang sesuai dengan tujuan evaluasi bila dia memiliki pengalaman yang memadai dengan populasi tunarungu ini.
    Asesmen itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, dari pelaksanaan tes baku dalam setting klinis hingga observasi kelas. Populasi anak tunarungu itu sangat beraneka ragam. Perbedaannya itu terletak pada lingkungan rumahnya, penyebab dan tingkat ketunarunguannya, sejarah perkembangan bahasanya, dan adanya faktor-faktor penyerta yang mempersulit keadaan (misalnya retardasi mental, keterbatasan motorik atau visual, kesulitan belajar). Karena keanekaragaman tersebut, seorang diagnostisi cenderung ttidak akan memperoleh pengalaman yang sama dalam asesmen terhadap individu yang berbeda.

    II. Permasalahan Yang Terkait dengan Asesmen Anak Tunarungu
    Masalah-masalah berikut ini dapat mempengaruhi ketepatan dan kemanfaatan hasil asesmen:

    1) Diagnostisi mungkin tidak memiliki sertifikasi atau pengalaman dengan populasi tunarungu yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil yang valid atau menghasilkan rekomendasi program. Gelar kesarjanaan dalam bidang psikometri atau psikologi, pendidikan anak tunarungu, atau patologi ujaran dan bahasa, tidak menjamin bahwa pelaksana asesmen memiliki keterampilan yang diperlukan untuk mengevaluasi anak tunarungu.
    2) Dalam kasus-kasus tertentu, diagnostisi tidak dapat berkomunikasi dengan kliennya. Seorang anak tunarungu mungkin menggunakan salah satu dari beberapa macam cara berkomunikasi. Cara-cara berkomunikasi tersebut dapat berupa ujaran dan pendengaran, isyarat ujaran (cued speech), bahasa isyarat "alami", bahasa isyarat yang dibakukan, atau kombinasi cara-cara tersebut. Komunikasi yang efektif antara diagnostisi dengan anak tunarungu dapat terjalin hanya apabila diagnostisi itu menguasai cara berkomunikasi yang dipergunakan oleh kliennya, atau dibantu oleh interpreter yang berpengalaman.
    3) Hasil tes yang menggunakan norma anak non-tunarungu atau dibandingkan dengan anak non-tunarungu mungkin tidak akan valid bagi anak yang tunarungu, tetapi tes yang menggunakan norma siswa tunarungu tidak akan berbicara banyak tentang kemajuan anak yang sesungguhnya menuju standar akademik dan linguistik yang telah ditetapkan, terutama bila dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya yang non-tunarungu.
    4) Kinerja anak dalam suatu tugas mandiri yang disajikan oleh seseorang yang tidak dikenalnya jarang dapat dibandingkan dengan kinerja anak tersebut di kelasnya dalam kegiatan yang sudah dikenalnya.
    5) Interpretasi tentang hasil tes tergantung pada pengetahuan dan pengalaman tim evaluasi. Profesional yang sudah sangat mengenal anak mungkin akan terlalu murah nilai, sedangkan mereka yang tidak memiliki informasi yang memadai tentang anak itu mungkin akan salah dalam mengestimasi kapabilitas anak.

    Hasil berbagai jenis asesmen harus dikaji bersama-sama. Memahami hasil tes akademik tergantung pada pemahaman tentang hasil asesmen komunikasi dan intelektual. Perilaku dapat dievaluasi secara memadai hanya jika psikolog mengetahui bahasa anak dan keterbatasan akademiknya di tingkat kelasnya saat ini. Hasil terpadu dari berbagai asesmen ini diperlukan untuk menentukan keputusan-keputusan yang penting menyangkut diri anak.

    III. Yang Berwenang Melakukan Asesmen
    Idealnya, asesmen terhadap anak tunarungu dilakukan oleh profesional yang:

    1) memiliki sertifikasi untuk melaksanakan tes formal yang dipergunakan dalam asesmen (misalnya guru untuk tes akademik, patolog bahasa dan ujaran untuk komunikasi, psikolog untuk asesmen intelektual, perilaku adaptif dan perilaku pada umumnya).
    2) Memahami dampak ketunarunguan terhadap kinerja anak dalam tes dan kegiatan di kelasnya.
    3) Berpengalaman melakukan intervensi sebagai seorang guru, patolog bahasa dan ujaran, atau psikolog/konselor untuk anak tunarungu.
    4) Dapat berkomunikasi secara efektif dengan anak, orang tua, dan guru selama dan setelah asesmen, dengan ataupun tanpa interpreter.
    5) Memiliki akses ke informasi hasil asesmen sebelumnya dan riwayat pendidikan anak yang pernah diasesmen.

    IV. Keuntungan Asesmen
    Pengalaman menunjukkan bahwa tanpa asesmen, ada siswa tunarungu yang mencapai usia sekolah menengah tanpa memiliki keterampilan membaca, mengembangkan perilaku yang bermasalah akibat frustrasi yang berkepanjangan yang disebabkan oleh penempatan yang tidak tepat, atau kurang memperoleh perlakuan yang sesuai dengan potensinya. Asesmen yang tepat dapat menghindari masalah-masalah tersebut dengan:

    1) Memvalidasi atau mempertanyakan keprihatinan orang tua dan guru tentang tingkat kinerja atau kemajuan anak.
    2) Menunjukkan bidang-bidang kekuatan dan kelemahan yang terdapat pada diri anak untuk pengajaran remedial atau observasi lebih lanjut.
    3) Mengidentifikasi dan membantu mengatasi konflik antara orang tua dan profesional dengan menyarankan cara pemecahan yang didasarkan pada kepentingan anak.
    4) Memberikan informasi yang dapat langsung dipergunakan dalam program pendidikan individualisasi bagi anak yang bersangkutan.

    V. Keterbatasan Asesmen
    Asesmen adalah alat untuk membantu orang tua dan profesional memberikan kesempatan pendidikan dan perkembangan terbaik bagi anak tunarungu. Akan tetapi, asesmen saja tidak akan dapat mencapai tujuan tersebut, dan keterbatasan asesmen mencakup hal-hal berikut:

    1) Asesmen tidak dapat secara spesifik mengungkapkan tingkat usia dan kelas yang sebanding dengan anak non-tunarungu. Skor tes yang dicapai anak tunarungu sedikit sekali hubungannya dengan ekuivalensi usia dan tingkat kelasnya.
    2) Kemanfaatan hasil asesmen sering kali dibatasi oleh kualifikasi pelaksana asesmen atau oleh hilangnya informasi yang diperlukan. Tepatnya rekomendasi yang didasarkan atas data asesmen tergantung pada kemampuan pelaksana asesmen untuk menginterpretasikan hasilnya.
    3) Asesmen tidak dapat menggantikan, melainkan hanya melengkapi hasil observasi sehari-hari dan judgment guru/orang tua.

    VI. Pertanyaan Yang Perlu Diajukan pada Saat Asesmen Dilaksanakan Pelaksana asesmen dan orang tua perlu mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut:

    1) Pertanyaan-pertanyaan diagnostik apakah yang harus diajukan pada saat evaluasi dilaksanakan? Mengapa evaluasi dilakukan dan bagaimana hasilnya akan dipergunakan?
    2) Bagaimanakah faktor-faktor lingkungan, perilaku anak, dan familiaritas anak dengan pengasesmen mempengaruhi reliabilitas dan validitas asesmen ini?
    3) Bagaimanakah kesesuaian temuan-temuan diagnostisi lain dengan hasil asesmen ini dalam mengungkapkan gambaran yang komprehensif tentang anak secara menyeluruh?
    4) Sumber-sumber apakah yang tersedia di dalam masyarakat tempat tinggal anak untuk mengimplementasikan rekomendasi dari asesmen ini?


    Referensi

    Eccarius, Malinda (1997). Educating Children Who Are Deaf or Hard of Hearing: Assessment. ERIC EC Digest #E550. The ERIC Clearinghouse on Disabilities and Gifted Education (ERIC EC): The Council for Exceptional Children

    Label:

    25 Maret 2008

    Profesi Pelukis atau Desainer Tampaknya sangat Menjanjikan bagi Andi

    (Studi Kasus terhadap Seorang Anak Tunarungu)

    Oleh Didi Tarsidi dan Permanarian Somad
    Abstrak

    Studi kasus ini berangkat dari informasi awal yang diperoleh dari guru kelas 2 tingkat dasar pada Sekolah Luar Biasa bagi Anak Tunarungu di Bandung tentang kesulitan yang dialami oleh seorang siswanya dalam belajar bahasa. Penelusuran lebih lanjut dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang latar belakang kasus, yang mencakup kajian tentang penyebab dan saat terjadinya ketunarunguan siswa tersebut, jenis dan tingkat ketunarunguannya, serta bentuk intervensi yang pernah diterimanya. Ditemukan bahwa Kasus memiliki kemampuan matematik yang baik dan bakat menggambar yang menonjol. Saran-saran yang diajukan untuk membantu perkembangan kasus ini, serta cara-cara penanganan kasus ketunarunguan pada umumnya, dirumuskan atas dasar kajian literatur.

    Deskripsi Kasus

    Pada saat studi kasus ini dilaksanakan, Andi (nama samaran) berusia 10 tahun. Dia adalah seorang anak laki-laki, anak pertama dari tiga bersaudara. Andi menyandang ketunarunguan berat sekali (profound hearing impairment) dengan tingkat pendengaran 110 desibel, yang terdeteksi pada saat Andi berusia empat bulan. Jenis ketunarunguannya adalah sensorineural loss akibat rubella yang diderita ibunya pada saat mengandung. Andi dimasukkan ke SLB/B di Bandung pada usia enam tahun, dan studi kasus dilaksanakan pada saat dia duduk di kelas 2 SD. Andi dilahirkan pada pasangan keluarga Pak Toto dan Bu Titi yang sama-sama berijazah SMA. Mereka menikah pada usia 30 dan 27 tahun. Pak Toto adalah seorang wirasuastawan dalam bidang perkaosan, sedangkan Bu Titi adalah seorang ibu rumah tangga.

    II. Metode Studi

    Studi kasus ini dilaksanakan dengan wawancara kepada guru kelas, observasi terhadap kasus dalam kegiatan belajarnya di kelas, dan wawancara kepada ibu kasus. Wawancara dengan guru kelas dilakukan di sekolah, observasi dilakukan di kelas ketika Kasus sedang belajar matematika, keterampilan, dan bina persepsi bunyi Indonesia (BPBI), sedangkan wawancara dengan ibu Kasus dilakukan melalui beberapa percakapan telepon.

    Temuan

    Andi adalah anak pertama dari pasangan Bapak Toto dan Ibu Titi. Pada saat Ibu Titi mengandung tujuh bulan, dia terserang rubella selama dua minggu, dan petugas kesehatan memperingatkan kepadanya tentang kemungkinan terjadi kelainan pada bayinya.
    Pada saat Andi lahir, Ibu Titi merasa lega karena tidak melihat tanda-tanda kelainan pada bayinya itu. Akan tetapi, ketika Andi berusia empat bulan, Ibu Titi mulai mencurigai sesuatu. Bila Ibu Titi membunyi-bunyikan mainan di hadapannya, Andi segera merespon dengan berusaha menggapainya, tetapi bila hal itu dilakukan dari arah belakangnya, Andi tidak bereaksi apa-apa - berbeda dari respon yang diberikan oleh bayi pada umumnya, yang akan segera menoleh ke arah bunyi mainan itu. Didorong oleh keinginan untuk meyakinkan apa yang dikhawatirkannya, Ibu Titi mencoba dengan cara lain: dia membunyikan sesuatu keras-keras pada saat Andi sedang tidur, tetapi bayi itu tidak pernah tampak terganggu betapa pun kerasnya bunyi yang dibuat oleh ibunya itu.
    Ibu Titi berasal dari keluarga besar dengan banyak adik, sehingga dia sudah terbiasa mengasuh adik-adiknya dan banyak belajar tentang perilaku bayi. Perilaku Andi meyakinkan Ibu Titi bahwa sesuatu yang tidak diharapkan telah terjadi pada anaknya itu. Maka Pak Toto dan Bu Titi segera berkonsultasi dengan dokter spesialis anak, tetapi dokter itu selalu meyakinkannya bahwa tidak ada sesuatu yang berkelainan pada fisik Andi.
    Ke dokter THT. Didorong oleh kecurigaannya terhadap kondisi pendengaran Andi, Pak Toto dan Bu Titi membawanya ke dokter spesialis THT ketika dia berumur satu tahun. Dokter THT itu mengkonfirmasi kecurigaan mereka: terdapat kelainan dalam sistem pendengaran Andi. Tes yang lebih seksama baru dilakukan ketika Andi berumur dua tahun, dan ditemukan bahwa kedua belah telinganya hanya dapat menerima stimulus bunyi pada intensitas 110 desibel, dan gangguan terjadi pada syaraf pendengarannya. Ini berarti bahwa ketunarunguan yang dialami Andi termasuk klasifikasi berat sekali (profound hearing impairment).

    Setelah Bapak dan Ibu Toto mengetahui kondisi anaknya yang sesungguhnya, kini mereka dihadapkan pada masalah psikologis untuk menerima realita itu. Mereka memperoleh informasi bahwa klinik Yayasan Surya Kanti di Bandung bergerak dibidang pengembangan potensi anak dengan mendeteksi, mengintervensi serta memberikan terapi sedini mungkin bagi anak balita yang mengalami gangguan perkembangan, dan bahwa Andi dapat lebih baik perkembangannya dengan layanan semacam ini. Akan tetapi, kedua orang tua ini masih menyimpan harapan bahwa anaknya itu akan dapat disembuhkan. Maka, setelah upaya medis menemui jalan buntu, mereka mencoba berbagai cara penyembuhan alternatif bagi buah hatinya itu. Baru setelah sekitar tiga tahun berlalu tanpa hasil kecuali terkurasnya sumber dana keluarga, mereka menyadari bahwa kondisi anaknya itu merupakan takdir Tuhan yang harus mereka terima dengan keikhlasan.
    Maka ketika Andi berusia enam tahun, mereka memasukkannya ke sekolah khusus bagi anak-anak tunarungu (SLB/B) di Bandung. Mereka mendapati bahwa seharusnya Andi dimasukkan ke sekolah itu lebih awal agar memperoleh penanganan lebih dini. SLB/B ini melayani anak sejak usia empat tahun, di mana anak dimasukkan ke tiga tingkat kelas persiapan (P1, P2 dan P3).
    Pada saat studi kasus ini dilakukan, Andi sudah berusia sepuluh tahun dan duduk di kelas 2 tingkat dasar. Guru kelasnya, Ibu Bet, mengidentifikasi kemampuan matematik yang sangat baik dan bakat menggambar yang menonjol pada diri Andi. "Gambarnya selalu hidup," demikian Bu Bet menuturkan. Akan tetapi, perkembangan bahasa Andi lebih lambat daripada rata-rata siswa di kelasnya.
    Pengajaran bahasa bagi siswa-siswa di sekolah ini lebih ditekankan pada penggunaan metode membaca ujaran yang dibantu dengan bahasa isyarat. Pemanfaatan sisa pendengaran tidak memperoleh penekanan yang optimal, yang tercermin dari tidak maksimalnya penekanan terhadap pentingnya penggunaan alat bantu dengar. Faktor ekonomi merupakan penyebab bagi anak-anak tertentu untuk tidak menggunakan alat bantu dengar, tetapi pada anak-anak lain faktor psikososial merupakan penyebabnya - mereka merasa malu menggunakan alat bantu dengar. Di samping itu, lingkungan auditer di sekolah ini kurang mendukung pengajaran bahasa secara aural: antara satu ruangan kelas dengan ruangan kelas lainnya dihubungkan oleh pintu, sehingga pembicaraan di kelas lain dapat terdengar dan bahkan mengganggu konsentrasi pendengaran anak terhadap pembicaraan gurunya. Kelas P1, P2 dan P3 bahkan diajar dalam satu ruangan dengan tiga orang guru.


    Diskusi

    Rubella sebagai penyebab ketunarunguan pada diri Andi, cara Bu Titi mendeteksi ketunarunguan pada bayinya, serta implikasi ketunarunguan yang diklasifikasikan sebagai berat sekali menarik untuk didiskusikan lebih lanjut. Di samping itu, partisipasi orang tua dalam membantu mengembangkan bahasa anaknya, metode dan pendekatan yang dipergunakan dalam pengajaran bahasa kepada Andi serta anak-anak lain di SLB/B tempat Andi bersekolah juga akan didiskusikan.

    Rubella Sebagai Penyebab Ketunarunguan

    Rubella (yang oleh masyarakat umum dikenal dengan nama campak) sering dipandang sebagai penyakit ringan. Orang dewasa maupun anak-anak biasanya tidak akan dibahayakan secara permanen oleh penyakit ini, tetapi bayi yang masih dalam kandungan dapat sangat terpengaruh. Jika seorang ibu yang sedang mengandung mengidap penyakit ini pada masa tiga bulan pertama kkehamilannya, dia sendiri mungkin tidak akan merasa sakit sama sekali, tetapi penyakit tersebut dapat berdampak kepada bayi di dalam kandungannya melalui placenta, dengan akibat yang serius. Banyak di antara bayi-bayi itu lahir tunagrahita, dan mereka juga dapat mengalami kecacatan fisik. Penyakit jantung, kesulitan pernafasan, gangguan penglihatan atau gangguan pendengaran sering dialami oleh bayi-bayi ini (Finkelstein, 1994).
    Oleh karena itu, berbagai upaya pencegahan seyogyanya dilakukan untuk mengurangi ancaman terha­dap janin. Anak­-anak--terutama pe­rempuan--sebaiknya divaksi­nasi agar mereka mengembangkan daya tahan terhadap rubella di kemudian hari. Wanita yang sedang hamil muda harus mengh­indari kontak dengan orang yang sedang terkena penyakit ini.

    Deteksi Dini Ketunarunguan

    Pengalaman empirik telah mengajari Ibu Titi cara tertentu untuk mendeteksi ketunarunguan secara dini. Andi tampak tidak mempunyai perhatian terhadap bunyi-bunyi.
    Easterbrooks (1997) mengemukakan tanda-tanda ketunarunguan sebagai berikut. Pada bayi atau anak kecil, tanda-tanda ketunarunguan itu mencakup tidak adanya perhatian atau adanya perhatian yang tidak konsisten, tidak adanya atau kurangnya interaksi vokal, dan tidak adanya atau sangat lambatnya perkembangan bahasa, terutama yang terkait dengan kata-kata yang diakhiri konsonan tak letup seperti t, ‑ng, atau ‑s. Pada anak-anak usia sekolah, tanda-tanda ketunarunguan itu mencakup tingginya tingkat frustrasi terhadap sekolah dan orang lain, rendahnya atau sangat menurunnya nilai-nilai pelajarannya, atau berubahnya pola perhatiannya. Pada orang dewasa, tanda-tanda tersebut dapat berupa keluhan bahwa orang lain bergumam padahal berbicara normal, atau menyalakan peralatan seperti radio atau TV terlalu keras.

    Klasifikasi dan Jenis Ketunarunguan

    Di atas dikemukakan bahwa dokter THT mengidentifikasi Andi sebagai mengalami gangguan pada syaraf pendengarannya dan hanya memiliki persepsi bunyi dengan intensitas 110 desibel, yang dikategorikan sebagai ketunarunguan berat sekali.

    Easterbrooks (1997) mengemukakan bahwa terdapat tiga jenis utama ketunarunguan menurut lokasi ganguannya:
    1) Conductive loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat gangguan pada bagian luar atau tengah telinga yang menghambat dihantarkannya gelombang bunyi ke bagian dalam telinga.
    2) Sensorineural loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat kerusakan pada bagian dalam telinga atau syaraf auditer yang mengakibatkan terhambatnya pengiriman pesan bunyi ke otak. (Ketunarunguan Andi tampaknya termasuk ke dalam kategori ini.)
    3) Central auditory processing disorder, yaitu gangguan pada sistem syaraf pusat proses auditer yang mengakibatkan individu mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya meskipun tidak ada gangguan yang spesifik pada telinganya itu sendiri. Anak yang mengalami gangguan pusat pemerosesan auditer ini mungkin memiliki pendengaran yang normal bila diukur dengan audiometer, tetapi mereka sering mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya.

    Berdasarkan tingkat keberfungsian telinga dalam mendengar bunyi, Ashman dan Elkins (1994) mengklasifikasikan ketunarunguan ke dalam empat kategori, yaitu:
    1) Ketunarunguan ringan (mild hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 20-40 dB (desibel). Mereka sering tidak menyadari bahwa sedang diajak bicara, mengalami sedikit kesulitan dalam percakapan.
    2) Ketunarunguan sedang (moderate hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 40-65 dB. Mereka mengalami kesulitan dalam percakapan tanpa memperhatikan wajah pembicara, sulit mendengar dari kejauhan atau dalam suasana gaduh, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar (hearing aid).
    3) Ketunarunguan berat (severe hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 65-95 dB. Mereka sedikit memahami percakapan pembicara bila memperhatikan wajah pembicara dengan suara keras, tetapi percakapan normal praktis tidak mungkin dilakukannya, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar.
    4) Ketunarunguan berat sekali (profound hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 95 dB atau lebih keras. Mendengar percakapan normal tidak mungkin baginya, sehingga dia sangat tergantung pada komunikasi visual. Sejauh tertentu, ada yang dapat terbantu dengan alat bantu dengar tertentu dengan kekuatan yang sangat tinggi (superpower).

    Survey tahun 1981 di Australia menemukan bahwa 59% dari populasi tunarungu menyandang ketunarunguan ringan, 11% sedang, 20% berat, dan 10% tidak dapat dipastikan (Cameron, 1982, dalam Ashman dan Elkins, 1994).

    Perlu dijelaskan bahwa decibel (disingkat dB) adalah satuan ukuran intensitas bunyi. Istilah ini diambil dari nama pencipta telepon, Graham Bel, yang istrinya tunarungu, dan dia tertarik pada bidang ketunarunguan dan pendidikan bagi tunarungu. Satu decibel adalah 0,1 Bel.
    Bagi para fisikawan, decibel merupakan ukuran tekanan bunyi, yaitu tekanan yang didesakkan oleh suatu gelombang bunyi yang melintasi udara. Dalam fisika, 0 db sama dengan tingkat tekanan yang mengakibatkan gerakan molekul udara dalam keadaan udara diam, yang hanya dapat terdeteksi dengan menggunakan instrumen fisika, dan tidak akan terdengar oleh telinga manusia. Oleh karena itu, di dalam audiologi ditetapkan tingkat 0 yang berbeda, yang disebut 0 dB klinis atau 0 audiometrik. Nol inilah yang tertera dalam audiogram, yang merupakan grafik tingkat ketunarunguan. Nol audiometrik adalah tingkat intensitas bunyi terendah yang dapat terdeteksi oleh telinga orang rata-rata dengan telinga yang sehat pada frekuensi 1000 Hz (Ashman & Elkins, 1994).
    Metode dan Pendekatan Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu
    Perdebatan tentang cara terbaik untuk mengajar anak tunarungu berkomunikasi telah marak sejak awal abad ke-16 (Winefield, 1987). Perdebatan ini masih berlangsung, tetapi kini semakin banyak ahli yang berpendapat bahwa tidak ada satu sistem komunikasi yang baik untuk semua anak (Easterbrooks, 1997). Pilihan sistem komunikasi harus ditetapkan atas dasar individual, dengan mempertimbangkan karakteristik anak, sumber-sumber yang tersedia, dan komitmen keluarga anak terhadap metode komunikasi tertentu.

    Metode Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu

    Terdapat tiga metode utama individu tunarungu belajar bahasa, yaitu dengan membaca ujaran, melalui pendengaran, dan dengan komunikasi manual, atau dengan kombinasi ketiga cara tersebut.

    1) Belajar Bahasa Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)
    Orang dapat memahami pembicaraan orang lain dengan "membaca" ujarannya melalui gerakan bibirnya. Akan tetapi, hanya sekitar 50% bunyi ujaran yang dapat terlihat pada bibir (Berger, 1972). Di antara 50% lainnya, sebagian dibuat di belakang bibir yang tertutup atau jauh di bagian belakang mulut sehingga tidak kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak sama sehingga pembaca bibir tidak dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa prabahasa. Seseorang dapat menjadi pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuan yang baik tentang struktur bahasa sehingga dapat membuat dugaan yang tepat mengenai bunyi-bunyi yang "tersembunyi" itu. Jadi, orang tunarungu yang bahasanya normal biasanya merupakan pembaca ujaran yang lebih baik daripada tunarungu prabahasa, dan bahkan terdapat bukti bahwa orang non-tunarungu tanpa latihan dapat membaca bibir lebih baik daripada orang tunarungu yang terpaksa harus bergantung pada cara ini (Ashman & Elkins, 1994).
    Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila digabung dengan sistem cued speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading).
    Delapan bentuk tangan yang menggambarkan kelompok-kelompok konsonan diletakkan pada empat posisi di sekitar wajah yang menunjukkan kelompok-kelompok bunyi vokal. Digabungkan dengan gerakan alami bibir pada saat berbicara, isyarat-isyarat ini membuat bahasa lisan menjadi lebih tampak (Caldwell, 1997). Cued Speech dikembangkan oleh R. Orin Cornett, Ph.D. di Gallaudet University pada tahun 1965‑66. Isyarat ini dikembangkan sebagai respon terhadap laporan penelitian pemerintah federal AS yang tidak puas dengan tingkat melek huruf di kalangan tunarungu lulusan sekolah menengah. Tujuan dari pengembangan komunikasi isyarat ini adalah untuk meningkatkan perkembangan bahasa anak tunarungu dan memberi mereka fondasi untuk keterampilan membaca dan menulis dengan bahasa yang baik dan benar. Cued Speech telah diadaptasikan ke sekitar 60 bahasa dan dialek. Keuntungan dari sistem isyarat ini adalah mudah dipelajari (hanya dalam waktu 18 jam), dapat dipergunakan untuk mengisyaratkan segala macam kata (termasuk kata-kata prokem) maupun bunyi-bunyi non-bahasa. Anak tunarungu yang tumbuh dengan menggunakan cued speech ini mampu membaca dan menulis setara dengan teman-teman sekelasnya yang non-tunarungu (Wandel, 1989 dalam Caldwell, 1997).

    2) Belajar Bahasa Melalui Pendengaran
    Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa individu tunarungu dari semua tingkat ketunarunguan dapat memperoleh manfaat dari alat bantu dengar tertentu. Alat bantu dengar yang telah terbukti efektif bagi jenis ketunarunguan sensorineural dengan tingkat yang berat sekali adalah cochlear implant. Cochlear implant adalah prostesis alat pendengaran yang terdiri dari dua komponen, yaitu komponen eksternal (mikropon dan speech processor) yang dipakai oleh pengguna, dan komponen internal (rangkaian elektroda yang melalui pembedahan dimasukkan ke dalam cochlea (ujung organ pendengaran) di telinga bagian dalam. Komponen eksternal dan internal tersebut dihubungkan secara elektrik. Prostesis cochlear implant dirancang untuk menciptakan rangsangan pendengaran dengan langsung memberikan stimulasi elektrik pada syaraf pendengaran (Laughton, 1997).
    Akan tetapi, meskipun dalam lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang dapat dikenali secara cukup baik oleh orang dengan klasifikasi ketunarunguan berat untuk memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur sintaksis dan fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi ini tidak berarti bahwa penyandang ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat memperoleh manfaat dari bunyi yang diamplifikasi dengan alat bantu dengar. Yang menjadi masalah besar dalam hal ini adalah bahwa individu tunarungu jarang dapat mendengarkan bunyi ujaran dalam kondisi optimal. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan individu tunarungu tidak dapat memperoleh manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar yang dipergunakannya. Di samping itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar alat bantu dengar yang dipergunakan individu tunarungu itu tidak berfungsi dengan baik akibat kehabisan batrai dan earmould yang tidak cocok.

    3) Belajar Bahasa secara Manual
    Secara alami, individu tunarungu cenderung mengembangkan cara komunikasi manual atau bahasa isyarat. Untuk tujuan universalitas, berbagai negara telah mengembangkan bahasa isyarat yang dibakukan secara nasional. Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa komunikasi manual dengan bahasa isyarat yang baku memberikan gambaran lengkap tentang bahasa kepada tunarungu, sehingga mereka perlu mempelajarinya dengan baik. Kerugian penggunaan bahasa isyarat ini adalah bahwa para penggunanya cenderung membentuk masyarakat yang eksklusif.

    Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu

    Pengajaran bahasa secara terprogram bagi anak tunarungu harus dimulai sedini mungkin bila kita mengharapkan tingkat keberhasilan yang optimal. Terdapat dua pendekatan dalam pengajaran bahasa kepada anak tunarungu secara dini, yaitu pendekatan auditori-verbal dan auditori-oral.

    Pendekatan Auditori‑verbal

    Pendekatan auditori-verbal bertujuan agar anak tunarungu tumbuh dalam lingkungan hidup dan belajar yang memungkinkanya menjadi warga yang mandiri, partisipatif dan kontributif dalam masyarakat inklusif. Falsafah auditori-verbal mendukung hak azazi manusia yang mendasar bahwa anak penyandang semua tingkat ketunarunguan berhak atas kesempatan untuk mengembangkan kemampuan untuk mendengarkan dan menggunakan komunikasi verbal di dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Pendekatan auditori‑verbal didasarkan atas prinsip mendasar bahwa penggunaan amplifikasi memungkinkan anak belajar mendengarkan, memproses bahasa verbal, dan berbicara. Opsi auditori‑verbal merupakan strategi intervensi dini, bukan prinsip-prinsip yang harus dijalankan dalam pengajaran di kelas. Tujuannya adalah untuk mengajarkan prinsip-prinsip auditori‑verbal kepada orang tua yang mempunyai bayi tunarungu (Goldberg, 1997).

    Prinsip-prinsip praktek auditori‑verbal itu adalah sebagai berikut:
    - Berusaha sedini mungkin mengidentifikasi ketunarunguan pada anak, idealnya di klinik perawatan bayi.
    - Memberikan perlakuan medis terbaik dan teknologi amplifikasi bunyi kepada anak tunarungu sedini mungkin.
    - Membantu anak memahami makna setiap bunyi yang didengarnya, dan mengajari orang tuanya cara membuat agar setiap bunyi bermakna bagi anaknya sepanjang hari.
    - Membantu anak belajar merespon dan menggunakan bunyi sebagaimana yang dilakukan oleh anak yang berpendengaran normal.
    - Menggunakan orang tua anak sebagai model utama untuk belajar ujaran dan komunikasi lisan.
    - Berusaha membantu anak mengembangkan sistem auditori dalam (inner auditory system) sehingga dia menyadari suaranya sendiri dan akan berusaha mencocokkan apa yang diucapkannnya dengan apa yang didengarnya.
    - Memahami bagaimana anak yang berpendengaran normal mengembangkan kesadaran bunyi, pendengaran, bahasa, dan pemahaman, dan menggunakan pengetahuan ini untuk membantu anak tunarungu mempelajari keterampilan baru.
    - Mengamati dan mengevaluasi perkembangan anak dalam semua bidang.
    - Mengubah program latihan bagi anak bila muncul kebutuhan baru.
    - Membantu anak tunarungu berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan maupun sosial bersama-sama dengan anak-anak yang berpendengaran normal dengan memberikan dukungan kepadanya di kelas reguler.

    Hasil penelitian terhadap sejumlah tamatan program auditori‑verbal di Amerika Serikat dan Kanada (Goldberg & Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997) menunjukkan bahwa mayoritas responden terintegrasi ke dalam lingkungan belajar dan lingkungan hidup "reguler". Kebanyakan dari mereka bersekolah di sekolah biasa di dalam lingkungannya, masuk ke lembaga pendidikan pasca sekolah menengah yang tidak dirancang khusus bagi tunarungu, dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. Di samping itu, keterampilan membacanya setara atau lebih baik daripada anak-anak berpendengaran normal (Robertson & Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997).

    Pendekatan Auditori‑Oral

    Pendekatan auditori‑oral didasarkan atas premis mendasar bahwa memperoleh kompetensi dalam bahasa lisan, baik secara reseptif maupun ekspresif, merupakan tujuan yang realistis bagi anak tunarungu. Kemampuan ini akan berkembang dengan sebaik-baiknya dalam lingkungan di mana bahasa lisan dipergunakan secara eksklusif. Lingkungan tersebut mencakup lingkungan rumah dan sekolah (Stone, 1997).
    Elemen-elemen pendekatan auditori‑oral yang sangat penting untuk menjamin keberhasilannya mencakup:
    - Keterlibatan orang tua. Untuk memperoleh bahasa dan ujaran yang efektif menuntut peran aktif orang tua dalam pendidikan bagi anaknya.
    - Upaya intervensi dini yang berfokus pada pendidikan bagi orang tua untuk menjadi partner komunikasi yang efektif.
    - Upaya-upaya di dalam kelas untuk mendukung keterlibatan anak tunarungu dalam kegiatan kelas.
    - Amplifikasi yang tepat. Alat bantu dengar merupakan pilihan utama, tetapi bila tidak efektif, penggunaan cochlear implant merupakan opsi yang memungkinkan.

    Mengajari anak mengunakan sisa pendengaran yang masih dimilikinya untuk mengembangkan perolehan bahasa lisan merupakan hal yang mendasar bagi pendekatan auditori‑oral. Meskipun dimulai sebelum anak masuk sekolah, intervensi oral berlanjut di kelas. Anak diajari keterampilan mendengarkan yang terdiri dari empat tingkatan, yaitu deteksi, diskriminasi, identifikasi, dan pemahaman bunyi. Karena tujuan pengembangan keterampilan mendengarkan itu adalah untuk mengembangkan kompetensi bahasa lisan, maka bunyi ujaran (speech sounds) merupakan stimulus utama yang dipergunakan dalam kegiatan latihan mendengarkan itu. Pengajaran dilakukan dalam dua tahapan yang saling melengkapi, yaitu tahapan fonetik (mengembangkan keterampilan menangkap suku-suku kata secara terpisah-pisah) dan tahapan fonologik (mengembangkan keterampilan memahami kata-kata, frase, dan kalimat). Pengajaran bahasa dilaksanakan secara naturalistik dalam kegiatan-kegiatan yang berpusat pada diri anak, tidak dalam setting didaktik. Pada masa prasekolah, pengajaran bagi anak dan pengasuhnya dilakukan secara individual, tetapi pada masa sekolah pengajaran dilaksanakan dalam setting kelas inklusif atau dalam kelas khusus bagi tunarungu di sekolah reguler. Setting pengajaran ini tergantung pada keterampilan sosial, komunikasi dan belajar anak.

    Keuntungan utama pendekatan auditori-oral ini adalah bahwa anak mampu berkomunikasi secara langsung dengan berbagai macam individu, yang pada gilirannya dapat memberi anak berbagai kemungkinan pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial. Geers dan Moog (1989 dalam Stone, 1997) melaporkan bahwa 88% dari 100 siswa tunarungu usia 16 dan 17 tahun yang ditelitinya memiliki kecakapan berbahasa lisan dan memiliki tingkat keterpahaman ujaran yang tinggi. Kemampuan rata-rata membacanya adalah pada tingkatan usia 13 hingga 14 tahun, yang hampir dua kali lipat rata-rata kemampuan baca seluruh populasi anak tunarungu di Amerika Serikat.


    Kesimpulan dan Implikasi

    Kasus Andi menyandang jenis ketunarunguan sensorineural dengan tingkat ketunarunguan berat sekali, yang terjadi pada masa prabahasa, disebabkan oleh penyakit rubella yang menyerang ibunya pada saat hamil tujuh bulan. Tidak diperolehnya intervensi dini untuk membantu perkembangan bahasanya, kurang tepatnya pendekatan dan metode pengajaran bahasa yang dipergunakan, serta tidak dipergunakannya alat bantu dengar baginya, telah mengakibatkan Andi mengalami keterlambatan dalam perkembangan bahasanya. Bakat menggambarnya yang menonjol dan kemampuan matematiknya yang baik menunjukkan bahwa dia memiliki kapasitas kognitif yang baik, yang sangat menjanjikan keberhasilan dalam belajarnya.

    Keterampilan bahasa verbal masih realistis untuk diharapkan dari Andi apabila dia dapat memperoleh alat bantu dengar yang sesuai dengan tingkat ketunarunguannya. Tampaknya cochlear implant merupakan pilihan alat bantu dengar terbaik baginya (jika faktor harganya yang masih sangat mahal tidak menjadi bahan pertimbangan).
    Bila alat bantu dengar yang sesuai tidak dapat diperolehnya, maka penggunaan metode membaca ujaran yang dikombinasikan dengan sistem isyarat ujaran (cued speech) tampaknya merupakan pilihan metode terbaik baginya untuk dapat belajar bahasa secara efektif. Dengan metode ini, kita tidak dapat berharap banyak bahwa Andi akan dapat mengucapkan bunyi-bunyi bahasa yang bermakna, tetapi dia dapat diharapkan memiliki kemampuan memahami pembicaraan orang lain dan memiliki kecakapan berkomunikasi secara tertulis.

    Bakat menggambarnya yang sudah tampak menonjol perlu terus dipupuk, misalnya dengan memberinya pelajaran tambahan dalam bidang seni lukis atau desain. Profesi pelukis atau desainer tampaknya merupakan harapan yang realistis baginya untuk kehidupan di masa dewasanya.

    Berikut ini adalah hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah munculnya kasus-kasus serupa di masa mendatang:
    1) Penyampaian informasi yang tepat kepada masyarakat luas mengenai bahaya penyakit rubella.
    2) Pembentukan suatu lembaga layanan yang memberikan intervensi dini kepada bayi dan kanak-kanak tunarungu (serta bayi dan kanak-kanak penyandang kecacatan pada umumnya) beserta keluarganya, baik intervensi medis, pendidikan maupun sosial, yang diberikan secara profesional.
    3) Kampanye kesadaran tentang pentingnya penggunaan alat bantu dengar bagi penyandang ketunarunguan agar dapat memanfaatkan sisa pendengarannya untuk belajar bahasa verbal.

    Referensi

    Ashman, A. and Elkins, J. (eds.). (1994). Educating Children with Special Needs. Sidney: Prentice Hall of Australia Pty Ltd

    Caldwell, b. (1997). Educating Children Who Are Deaf or Hard of Hearing: Cued Speech.
    The ERIC Clearinghouse on Disabilities and Gifted Education (ERIC
    EC). Tersedia: http://ericec.org/digests/e555.html

    Easterbrooks, S. (1997). Educating Children Who Are Deaf or Hard of Hearing: Overview. The ERIC Clearinghouse on Disabilities and Gifted Education (ERIC EC). Tersedia:
    http://ericec.org/digests/e549.html

    Finkelstein, D., dalam Jernigan, K. (1994). If Blindness Comes. Baltimore: National Federation of the Blind

    Laughton, J. (1997). Educating Children Who Are Deaf or Hard of Hearing: Cochlear
    Implants. The ERIC Clearinghouse on Disabilities and Gifted Education (ERIC EC). Tersedia:
    http://ericec.org/digests/e554.html

    Label: