Buku Tamu

Anda adalah pengunjung ke
free stats

View My Stats

  • Silakan isi Buku Tamu saya. Terimakasih.
  • Lihat Buku Tamu




  • Google




    25 Maret 2009

    Pendidikan Inklusif Ketika Hanya Ada Sedikit Sumber

    23 Maret 2009

    PENYANDANG KETUNAAN: ISTILAH PENGGANTI “PENYANDANG CACAT”

    16 Mei 2008

    Definisi dan Ruang Lingkup Praktek Konseling Rehabilitasi

    Istilah “konseling rehabilitasi” yang dipergunakan dalam artikel ini merupakan terjemahan langsung dari “counseling rehabilitation”. The Commission on
    Rehabilitation Counselor Certification (CRCC), Amerika Serikat, sebagaimana dikutip oleh Parker et al. (2004:4) mendefinisikan counseling rehabilitation
    sebagai “a systematic process which assists persons with physical, mental, developmental, cognitive, and emotional disabilities to achieve their personal,
    career, and independent living goals in the most integrated setting possible through the application of the counseling process. The counseling process
    involves communication, goal setting, and beneficial growth or change through self-advocacy, psychological, vocational, social, and behavioral interventions”.
    (Konseling rehabilitasi adalah suatu proses sistematis yang membantu penyandang kecacatan fisik, mental, perkembangan, kognitif, dan emosi untuk mencapai
    tujuan personal, karir, dan kehidupan mandiri dalam setting yang seintegrasi mungkin melalui penerapan proses konseling. Proses konseling tersebut melibatkan
    komunikasi, penetapan tujuan, dan pertumbuhan atau perubahan ke arah yang lebih baik melalui self-advocacy, intervensi psikologis, intervensi vokasional,
    intervensi sosial, dan intervensi behavioral).
    Sejalan dengan pengertian itu, The international Rehabilitation Counseling Consortium, sebuah kelompok yang beranggotakan beberapa organisasi profesi yang
    terkait dengan konseling rehabilitasi (Virginia Commonwealth University Department of Rehabilitation Counseling, 2005), mendefinisikan konselor rehabilitasi
    sebagai berikut: “A rehabilitation counselor is a counselor who possesses the specialized knowledge, skills and attitudes needed to collaborate in a professional
    relationship with people who have disabilities to achieve their personal, social, psychological and vocational goals.” (Konselor rehabilitasi adalah konselor
    yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang terspesialisasi serta memiliki sikap yang dibutuhkan untuk berkolaborasi dalam hubungan profesional dengan
    individu yang menyandang kecacatan untuk mencapai tujuan personal, sosial, psikologis dan vokasionalnya).
    Di samping itu, Szymanski (Parker et al., 2004:4) mendefinisikan rehabilitation counseling sebagai "a profession that assists individuals with disabilities
    in adapting to the environment, assists environments in accommodating the needs of the individual, and works toward full participation of persons with
    disabilities in all aspects of society, especially work." (Konseling rehabilitasi adalah sebuah profesi yang membantu individu penyandang cacat dalam beradaptasi
    dengan lingkungan, dan membantu lingkungan dalam mengakomodasi kebutuhan individu tersebut, dan mengupayakan partisipasi penuh penyandang cacat dalam segala
    aspek kehidupan masyarakat, terutama dalam pekerjaan).
    Definisi-definisi tersebut mencerminkan perbedaan pendekatan terhadap kecacatan, yaitu pendekatan individual dan pendekatan lingkungan/sosial. Akan tetapi,
    kedua pendekatan tersebut ada dalam praktek profesional konseling rehabilitasi saat ini (Parker et al., 2004). Oleh karena itu, agar mencakup kedua pendekatan
    tersebut, penulis menggabungkan kedua definisi tersebut ke dalam rumusan sebagai berikut: Konseling rehabilitasi adalah sebuah profesi yang menerapkan
    proses konseling untuk membantu individu penyandang cacat dalam beradaptasi dengan lingkungan, dan membantu lingkungan dalam mengakomodasi kebutuhan individu
    tersebut agar dapat mencapai tujuan personal, vokasional, dan kehidupan yang mandiri, dan mampu berpartisipasi penuh dalam segala aspek kehidupan masyarakat.

    Baca selengkapnya....

    Label:

    06 April 2008

    KOGNISI: Pengorganisasian, Perkembangan, dan Perubahannya

    Bagaimanakah kognisi individu terorganisasi? Bagaimanakah kognisi berkembang? Apakah yang mempengaruhi properti suatu kognisi? Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi perubahan kognisi? Bagaimana kognisi individu menentukan caranya mempersepsi dan Menilai Orang lain? Bagaimana kognisi individu menentukan ketepatan Persepsi Interpersonal? Silakan baca lebih lanjut di:
    KOGNISI: Pengorganisasian, Perkembangan, dan Perubahannya

    Label:

    04 April 2008

    Inklusi bagi Siswa Tunarungu

    Oleh Didi Tarsidi dan Permanarian Somad

    I. Pendahuluan

    Kerangka Aksi mengenai Pendidikan Kebutuhan Khusus (Unesco, 1994) mengakui prinsip bahwa sekolah seyogyanya mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosi, linguistik ataupun kondisi‑kondisi lainnya. Ini seyogyanya mencakup anak cacat dan anak berbakat, anak jalanan dan anak kaum buruh, anak dari penduduk terpencil ataupun pengembara, anak dari kelompok masyarakat minoritas secara linguistik, etnik ataupun budaya. Kondisi‑kondisi tersebut menciptakan berbagai macam tantangan bagi sistem persekolahan.
    Dalam konteks Kerangka Aksi tersebut, istilah "kebutuhan pendidikan khusus" mengacu pada semua anak dan remaja yang kebutuhannya timbul akibat kecacatan atau kesulitan belajarnya. Banyak anak mengalami kesulitan belajar dan oleh karenanya memiliki kebutuhan pendidikan khusus pada saat mereka sedang menempuh pendidikannya. Sekolah harus mencari cara agar berhasil mendidik semua anak, termasuk mereka yang memiliki kekurangan dan kecacatan yang parah. Terdapat satu konsensus internasional bahwa anak dan remaja yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus seyogyanya tercakup dalam perencanaan pendidikan yang dibuat untuk anak pada umumnya. Hal tersebut telah membawa kita pada konsep pendidikan inklusif.

    Makalah ini akan membahas pengertian inklusi, sejarah perkembangan praktek inklusi bagi anak tunarungu, status inklusi bagi anak tunarungu saat ini, keunggulan dan kelemahan model inklusi, hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam implementasi pendidikan inklusif, ,dan kemungkinan implementasi inklusi bagi anak tunarungu di Indonesia.


    II. Pengertian Inklusi

    Yang dimaksud dengan inklusi bagi anak tunarungu adalah pendidikannya yang dilaksanakan di dalam kelas reguler bersama-sama dengan siswa-siswa yang berpendengaran normal (Nowell & Innes, 1997). Inklusi berbeda dengan mainstreaming atau integrasi. Dalam integrasi terdapat berbagai tingkatan kontak dengan siswa-siswa non-tunarungu, dari tingkatan kontak minimal hingga tingkatan kontak optimal, sedangkan dalam inklusi, siswa tunarungu benar-benar ditempatkan sekelas dengan siswa non-tunarungu di dalam kelas reguler. Inklusi didukung oleh sejumlah layanan untuk memenuhi kebutuhan khusus anak tunarungu yang mencakup layanan interpreter, juru catat, guru bantu, guru pembimbing khusus bagi tunarungu, dan konsultan, dan layanan-layanan ini diberikan dalam konteks kelas reguler.


    III. Sejarah Perkembangan Praktek Inklusi bagi Anak Tunarungu

    Sebelum tahun 1975, meskipun telah ada berbagai upaya untuk mendidik anak tunarungu di sekolah reguler, sekitar 80% siswa tunarungu di Amerika Serikat dilayani di sekolah-sekolah khusus (Cohen, 1995). Hal ini berubah dengan diberlakukannya Public Law 94‑142 pada tahun tersebut. Undang-undang pendidikan anak penyandang cacat Amerika Serikat menuntut agar semua anak dididik dalam "lingkungan yang paling tidak membatasi" (least restrictive environment), yang berarti bahwa sedapat mungkin mereka harus dididik di dalam lingkungan tempat tinggalnya bersama-sama dengan teman-temannya yang tidak cacat. Pada awalnya, meskipun undang-undang tersebut mengakibatkan sejumlah siswa tunarungu dididik di kelas reguler, tetapi kebanyakan masih ditempatkan di kelas khusus di lingkungan sekolah reguler, dan kontak dengan siswa-siswa non-tunarungu hanya dalam kegiatan-kegiatan non-akademik. Sekitar 20 tahun kemudian perubahan yang nyata terjadi. Menurut Cohen (1995), pada tahun 1995, lebih dari 60% siswa tunarungu dididik di sekolah reguler meskipun tidak jelas berapa di antara mereka yang memperoleh layanan model inklusi yang sesungguhnya. Menurut laporan tahunan Pusat Asesmen dan Studi Demografik (CADS) di Gallaudet University (Schildroth & Hotto, 1996, dalam Easterbrooks, 1997), hanya 21% siswa tunarungu di Amerika serikat bersekolah di sekolah berasrama (residential school) khusus bagi tunarungu, 8% di sekolah khusus pulang hari (day school), dan 70% di sekolah-sekolah reguler di lingkungan tempat tinggalnya.
    Hal serupa terjadi juga di Australia dan Selandia Baru. Sebagian besar anak tunarungu dididik di kelas-kelas reguler dengan dukungan guru kunjung khusus bagi tunarungu. Akan tetapi masih banyak juga yang dididik di unit-unit khusus di sekolah reguler, tetapi untuk kegiatan-kegiatan belajar tertentu mereka diintegrasikan dengan siswa-siswa lain di sekolahnya. Hanya sedikit anak tunarungu yang dididik di sekolah khusus bagi tunarungu, dan anak-anak ini pun sering kali diintegrasikan ke sekolah-sekolah reguler untuk kegiatan-kegiatan tertentu (Ashman & Elkins, 1994).
    Di Indonesia, hingga saat ini pendidikan bagi anak tunarungu masih dilaksanakan secara eksklusif di SLB/B. Akan tetapi, secara kasus, telah ada orang tua yang menyekolahkan anaknya yang tunarungu ke sekolah reguler tingkat lanjutan, meskipun pendidikan tingkat dasarnya dilaksanakan di SLB/B.

    IV. Status Inklusi bagi Anak Tunarungu Saat Ini

    Penerapan inklusi bagi siswa tunarungu masih menjadi bahan perdebatan, terutama dalam cara menafsirkan istilah "least restrictive environment" (Nowell & Innes, 1997). Dari perdebatan tersebut muncul dua pandangan umum terhadap inklusi. Satu pandangan mengatakan bahwa semua siswa penyandang cacat berhak bersekolah bersama-sama dengan teman-teman sebayanya yang tidak cacat. Pandangan lainnya biasanya diberi label "full inclusion" (inklusi penuh) dan lebih keras, yaitu pandangan bahwa semua siswa penyandang cacat seyogyanya bersekolah di sekolah reguler. Pandangan pertama konsisten dengan pendapat bahwa sebaiknya tersedia berbagai opsi penempatan pendidikan bagi siswa tunarungu, sedangkan pandangan kedua pada umumnya konsisten dengan penghapusan semua sekolah khusus bagi tunarungu.
    Di Norwegia, organisasi tunarungu dengan gigih mempertahankan sekolah-sekolah khusus bagi tunarungu. Mereka berargumen bahwa siswa tunarungu berhak bersekolah di sekolah khusus bukan karena kecacatannya melainkan karena keunikan bahasanya.


    V. Keunggulan dan Kelemahan Inklusi

    Pengalaman negara-negara yang telah mengimplementasikan pendidikan inklusif mencatat adanya keunggulan maupun kelemahan sistem ini.
    Keunggulan inklusi mencakup:
    1) Anak tunarungu berkesempatan untuk tetap tinggal di rumahnya. Populasi tunarungu tersebar secara meluas, sedangkan sekolah-sekolah khusus bagi tunarungu terpusat di tempat-tempat tertentu (pada umumnya di kota-kota besar) sehingga sering kali anak harus terpisah dari lingkungan keluarganya untuk dapat memperoleh pendidikan. Pendidikan yang dilaksanakan secara inklusif dapat mengatasi masalah ini.
    2) Anak tunarungu lebih berkesempatan untuk berkomunikasi dengan masyarakat non-tunarungu. Pergaulan sehari-hari dengan siswa-siswa non-tunarungu dalam setting inklusi dapat membantu siswa tunarungu mengembangkan secara lebih baik kemampuannya untuk berkomunikasi dengan orang-orang non-tunarungu, sehingga mereka akan mengembangkan keterampilan komunikasi yang lebih baik yang akan sangat diperlukan dalam aktivitas kehidupannya di kemudian hari.
    3) Kesempatan untuk belajar norma-norma masyarakat non-tunarungu. Anak tunarungu yang bersekolah di sekolah reguler akan dapat menguasai norma-norma masyarakat non-tunarungu secara lebih baik daripada mereka yang terkungkung dalam “budaya tunarungu” di sekolah-sekolah khusus bagi tunarungu.
    4) Tersedianya pilihan yang lebih banyak dalam program akademik ataupun program kejuruan. Sekolah-sekolah reguler mungkin dapat menawarkan lebih banyak pilihan program pendidikan daripada sekolah khusus bagi tunarungu.

    Akan tetapi, sistem inklusi pun tidak luput dari kelemahan, yang mencakup:
    1) Anak berpeluang untuk terkucil dari guru-guru, teman-teman sebaya, serta anggota-anggota lainnya dari komunitas sekolahnya. Lingkungan inklusif mungkin tidak terdiri dari individu-individu yang mampu berkomunikasi dalam bahasa atau cara komunikasi yang lebih disukai oleh anak tunarungu.
    2) Terbatasnya kesempatan untuk memperoleh pengajaran langsung. Karena guru reguler tidak menguasai cara komunikasi yang dipergunakan oleh siswa yang tunarungu, pengajaran sering disampaikan melalui perantaraan interpreter.
    3) Kesempatan untuk berkomunikasi dan berinteraksi langsung secara mandiri dengan teman sebaya serta staf pendukung kegiatan belajar/mengajarnya sering terbatas. Siswa tunarungu sering harus bergantung pada interpreter untuk berkomunikasi secara efektif dengan teman sebayanya dan staf sekolahnya. Konselor sekolah, staf medis, dan administrator sering tidak dapat berkomunikasi langsung dengan siswa yang tunarungu, yang mengakibatkan terbatasnya akses mereka ke layanan pendukung yang disediakan oleh sekolah bagi semua siswa.
    4) Kurangnya staf pendukung, baik dalam jumlah maupun kualitasnya. Tidak semua sekolah dapat menyediakan interprerter atau staf pendukung lainnya yang berkualitas dalam jumlah yang cukup untuk memberikan tingkat akses komunikasi ke proses pendidikan secara memadai.


    V. Hal-hal Yang Perlu Dipertimbangkan dalam Implementasi Pendidikan Inklusif

    Sebelum memutuskan untuk memilih opsi inklusi dalam pendidikan bagi anak tunarungu, orang tua serta para profesional perlu mengajukan pertanyaan berikut ini: Apakah lingkungan inklusif ini akan memberikan kesempatan yang diperlukan anak tunarungu untuk dapat berkembang secara intelektual, sosial, ataupun emosional?

    Untuk menjawab pertanyaan yang sangat penting ini secara memadai, beberapa pertanyaan terkait lainnya perlu diajukan, yang mencakup:
    1) Bagaimanakah tingkat ketunarunguan anak dan tingkat kemampuannya untuk memanfaatkan sisa pendengarannya?
    2) Cara komunikasi apakah yang lebih disukai oleh anak itu? Apakah cara tersebut dipergunakan di lingkungan sekolah yang bersangkutan?
    3) Apakah anak tunarungu itu akan memperoleh akses ke layanan captioning, juru catat, alat bantu dengar, TTY, dan penggunaan alat-alat asistif lainnya?
    4) Bagaimanakah tingkat kemampuan akademik anak itu?
    5) Bagaimanakah tingkat komunikasi langsung yang dapat terjalin antara anak tunarungu dengan guru dan teman-temannya di dalam lingkungan itu?
    6) Apakah kemampuan bahasanya serta kebutuhan-kebutuhan anak itu akan memperoleh perhatian yang semestinya?
    7) Apakah di dalam lingkungan itu akan terdapat anak tunarungu lain untuk teman bersosialisasi?
    8) Apakah sekolah itu akan dilengkapi dengan staf yang berkualifikasi dan memiliki sertifikasi untuk melayani anak tunarungu?
    9) Apakah sekolah itu menyediakan berbagai instrumen asesmen yang dirancang khusus untuk dipergunakan bagi siswa tunarungu? 10) Apakah di sekolah itu tersedia personel yang dapat melaksanakan asesmen dalam bahasa dan cara komunikasi yang dikuasai anak?
    11) Bagaimanakah tingkat akses yang akan diperoleh anak ke kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler?
    12) Apakah terdapat individu tunarungu yang dapat dijadikan model oleh anak tunarungu di lingkungan sekolah itu?

    Semakin tinggi persentase untuk jawaban ya bagi pertanyaan-pertanyaan di atas, akan semakin tinggi pula tingkat keberhasilan model pendidikan inklusif bagi siswa tunarungu di sekolah itu.


    VII. Kesimpulan dan Implikasi

    Pendidikan inklusif didasarkan atas pandangan falsafah bahwa penyandang cacat merupakan bagian yang integral dari masyarakat “normal”, dan oleh karenanya seyogyanya layanan pendidikannya pun seyogyanya merupakan bagian yang integral dari sistem pendidikan reguler.
    Pendidikan inklusif akan terselenggara dengan baik apabila didukung oleh faktor‑faktor berikut:
    a. Peraturan perundang‑undangan yang lebih inklusif, fasilitatif dan non‑diskriminatif;
    b. Kesadaran dan sikap masyarakat umum terhadap kesamaan hak yang sesungguhnya bagi setiap warga, termasuk warga penyandang cacat, dalam setiap aspek hidup dan kehidupan bermasyarakat;
    c. Fleksibilitas kurikulum agar sekolah memiliki kebebasan untuk mengembangkan kurikulum yang dapat memenuhi kebutuhan individual setiap anak dalam proses belajarnya;
    d. Guru‑guru reguler yang memiliki pengetahuan dan keterampilan dasar tentang layanan bagi anak berkebutuhan khusus;
    e. Pusat sumber yang menyediakan peralatan khusus untuk membantu memenuhi kebutuhan pendidikan anak penyandang kebutuhan khusus di sekolah reguler;
    f. Pusat layanan yang menyediakan bantuan khusus bagi guru‑guru reguler dalam melayani anak berkebutuhan khusus.

    Pusat sumber dan pusat layanan tersebut dapat dikembangkan dari SLB yang ada, dan upaya yang sistematis sudah mulai dilakukan ke arah itu.

    Agar inklusi bagi anak tunarungu dapat terlaksana dengan baik, secara ideal sekolah reguler harus dilengkapi dengan hal-hal sebagai berikut:
    1) Sarana dan layanan pendukung yang mencakup: alat captioning (yaitu alat yang menampilkan tayangan tertulis untuk menyertai penjelasan lisan dari guru); alat bantu dengar yang sesuai dengan tingkat sisa pendengaran anak; TTY (teletypewriter, yaitu alat komunikasi tertulis antara individu tunarungu dengan mereka yang dapat mendengar); dan alat-alat asistif lainnya yang membantu komunikasi.
    2) Staf yang berkualifikasi dan memiliki sertifikasi untuk melayani anak tunarungu.
    3) Berbagai instrumen asesmen yang dirancang khusus untuk dipergunakan terhadap siswa tunarungu.
    4) Personel yang dapat melaksanakan asesmen dalam bahasa dan cara komunikasi yang dikuasai anak.
    Untuk kondisi ekonomi Indonesia saat ini, fasilitas pendukung yang paling sulit disediakan bagi anak-anak tunarungu di sekolah reguler mungkin adalah alat-alat teknologi asistif seperti alat captioning dan TTY. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa langkah-langkah menuju implementasi inklusi belum dapat dimulai.


    Referensi

    Ashman, A. & Elkins, J. (eds.). (1994). Educating Children with Special Needs. Sidney: Prentice Hall of Australia Pty Ltd

    Cohen, O.P. (1995). Perspectives on the full inclusion movement in the education of deaf children. In B. Snider (Ed.), Conference proceedings: Inclusion: Defining quality education for deaf and hard‑of‑hearing students. Washington, DC: College of Continuing Education, Gallaudet University

    Easterbrooks, S. (1997). Educating Children Who Are Deaf or Hard of Hearing: Overview. The ERIC Clearinghouse on Disabilities and Gifted Education (ERIC EC). Digests e549.

    Nowell, R. & Innes, J. (1997). Educating Children Who Are Deaf or
    Hard of Hearing: Inclusion. The ERIC Clearinghouse on Disabilities and Gifted Education (ERIC EC). ERIC EC Digest #E557.

    UNESCO (1994). THE SALAMANCA STATEMENT AND FRAMEWORK FOR ACTION ON SPECIAL NEEDS EDUCATION. World Conference on Special Needs Education: Access and Quality. Unesco & Ministry of Education and Science, Spain. Salamanca, Spain, 7‑10 June 1994.

    Label:

    Definisi dan Klasifikasi Tunarungu

    Oleh Permanarian Somad dan Didi Tarsidi

    (Informasi berikut ini diambil dari Easterbrooks (1997) dan Ashman & Elkins (1994)).

    I. Pengertian Dan Klasifikasi Ketunarunguan Berdasarkan Penyebabnya

    Ketunarunguan (hearing loss) adalah satu istilah umum yang menggambarkan semua derajat dan jenis kondisi tuli (deafness) terlepas dari penyebabnya dan usia kejadiannya. Sejumlah variabel (derajat, jenis, penyebab dan usia kejadiannya) berkombinasi di dalam diri seorang siswa tunarungu mengakibatkan dampak yang unik terhadap perkembangan personal, sosial, intelektual dan pendidikannya, yang pada gilirannya hal ini akan mempengaruhi pilihan gaya hidupnya pada masa dewasanya (terutama kelompok sosial dan pekerjaannya). Akan tetapi, sebagaimana halnya dengan kehilangan indera lainnya, ketunarunguan (terutama bila tidak disertai kecacatan lain) pada dasarnya merupakan permasalahan sosial dan tidak mesti merupakan suatu ketunaan (disability) kecuali jika milieu sosial tempat tinggal individu itu membuatnya demikian.
    Terdapat tiga jenis utama ketunarunguan menurut penyebabnya:

    1. Conductive loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat gangguan pada bagian luar atau tengah telinga yang menghambat dihantarkannya gelombang bunyi ke bagian dalam telinga.

    2. Sensorineural loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat kerusakan pada bagian dalam telinga atau syaraf pendengaran yang mengakibatkan terhambatnya pengiriman pesan bunyi ke otak.

    3. Central auditory processing disorder, yaitu gangguan pada sistem syaraf pusat proses pendengaran yang mengakibatkan individu mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya meskipun tidak ada gangguan yang spesifik pada telinganya itu sendiri. Anak yang mengalami gangguan pusat pemerosesan pendengaran ini mungkin memiliki pendengaran yang normal bila diukur dengan audiometer, tetapi mereka sering mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya.

    Seorang anak dapat juga mengalami kombinasi bentuk-bentuk ketunarunguan tersebut.

    II. Definisi dan Klasifikasi Berdasarkan Keberfungsian Pendengaran

    Berdasarkan tingkat keberfungsian telinga dalam mendengar bunyi, ketunarunguan dapat diklasifikasikan ke dalam empat kategori, yaitu:

    1. Ketunarunguan ringan (mild hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 20-40 dB (desibel). Mereka sering tidak menyadari bahwa sedang diajak bicara, mengalami sedikit kesulitan dalam percakapan.

    2. Ketunarunguan sedang (moderate hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 40-65 dB. Mereka mengalami kesulitan dalam percakapan tanpa memperhatikan wajah pembicara, sulit mendengar dari kejauhan atau dalam suasana gaduh, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar (hearing aid).

    3. Ketunarunguan berat (severe hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 65-95 dB. Mereka sedikit memahami percakapan pembicara bila memperhatikan wajah pembicara dengan suara keras, tetapi percakapan normal praktis tidak mungkin dilakukannya, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar.

    4. Ketunarunguan parah (profound hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 95 dB atau lebih keras. Percakapan normal tidak mungkin baginya, ada yang dapat terbantu dengan alat bantu dengar tertentu, sangat bergantung pada komunikasi visual.

    Perlu dijelaskan bahwa decibel (disingkat dB) adalah satuan ukuran intensitas bunyi. Istilah ini diambil dari nama pencipta telepon, Graham Bel, yang istrinya tunarungu, dan dia tertarik pada bidang ketunarunguan dan pendidikan bagi tunarungu. Satu decibel adalah 0,1 Bel.
    Bagi para fisikawan, decibel merupakan ukuran tekanan bunyi, yaitu tekanan yang didesakkan oleh suatu gelombang bunyi yang melintasi udara. Dalam fisika, 0 db sama dengan tingkat tekanan yang mengakibatkan gerakan molekul udara dalam keadaan udara diam, yang hanya dapat terdeteksi dengan menggunakan instrumen fisika, dan tidak akan terdengar oleh telinga manusia. Oleh karena itu, di dalam audiologi ditetapkan tingkat 0 yang berbeda, yang disebut 0 dB klinis atau 0 audiometrik. Nol inilah yang tertera dalam audiogram, yang merupakan grafik tingkat ketunarunguan. Nol audiometrik adalah tingkat intensitas bunyi terendah yang dapat terdeteksi oleh telinga orang rata-rata dengan telinga yang sehat pada frekuensi 1000 Hz.
    III. Definisi Berdasarkan Kebutuhan Pendidikan dan Budaya
    Banyak istilah di dalam bahasa Inggris yang dipergunakan untuk mengacu pada populasi individu yang menyandang ketunarunguan.

    1. Kata "deaf" menurut definisi Individuals with Disabilities Education Act, (undang-undang pendidikan bagi individu penyandang cacat Amerika Serikat) tahun 1990 adalah ketunarunguan yang berdampak negatif terhadap kinerja pendidikan individu dan demikian parah sehingga individu itu terganggu dalam kemampuanya untuk memproses informasi linguistik (komunikasi) melalui pendengaran, dengan ataupun tanpa amplifikasi (alat bantu dengar).

    2. Istilah "hard of hearing" berarti ketunarunguan, baik permanen maupun berfluktuasi, yang berdampak negatif terhadap kinerja pendidikan seorang individu tetapi yang memungkinkannya mempunyai akses ke komunikasi verbal pada tingkat tertentu dengan ataupun tanpa amplifikasi (IDEA 1990).

    3. Istilah "Deaf" yang ditulis dengan huruf D kapital mengacu pada individu penyandang ketunarunguan yang mengidentifikasi dirinya sendiri sebagai anggota "budaya tunarungu" (Deaf Culture. Individu-individu ini memandang dirinya sebagai satu populasi yang dipersatukan oleh kesamaan latar belakang budaya, kesamaan pengalaman, kesamaan riwayat keluarga (menikah dengan sesama tunarungu), dan kesamaan bahasa (yaitu American Sign Language (ASL).

    4. Istilah "hearing‑impaired" kini sering dipergunakan untuk mengacu pada mereka yang "deaf" maupun yang "hard of hearing".

    Istilah "deaf mute" dan "deaf and dumb" (tuli bisu) kini tidak dipergunakan lagi. Istilah tersebut tidak hanya dianggap kuno, tetapi juga dipandang ofensif.

    Survey tahun 1981 di Australia menemukan bahwa 59% dari populasi tunarungu menyandang ketunarunguan ringan, 11% sedang, 20% berat, dan 10% tidak dapat dipastikan (Cameron, 1982).


    Referensi

    Ashman, A. and Elkins, J. (eds.). (1994). Educating Children with Special Needs. Sidney: Prentice Hall of Australia Pty Ltd

    Easterbrooks, S. (1997). Educating Children Who Are Deaf or Hard of Hearing: Overview. The ERIC Clearinghouse on Disabilities and Gifted Education (ERIC EC). ERIC EC Digest #E549.

    Label: ,

    29 Maret 2008

    Dampak Ketunarunguan terhadap Perkembangan Individu

    Oleh Permanarian Somad dan Didi Tarsidi

    Di antara dampak utama ketunarunguan pada perkembangan anak adalah dalam bidang bahasa dan ujaran (speech). Kita perlu membedakan antara bahasa (sistem utama yang kita pergunakan untuk berkomunikasi) dan ujaran (bentuk komunikasi yang paling sering dipergunakan oleh orang yang dapat mendengar). Besar atau kecilnya hambatan perkembangan bahasa dan ujaran anak tunarungu tergantung pada karakteristik kehilangan pendengarannya. Hambatan tersebut dapat mengakibatkan kesulitan dalam belajar di sekolah dan dalam berkomunikasi dengan orang yang dapat mendengar/berbicara sehingga berdampak pada perkembangan sosial dan keragaman pengalamannya. Ini karena sebagian besar perkembangan sosial masyarakat didasarkan atas komunikasi lisan, begitu pula perkembangan komunikasi itu sendiri, sehingga gangguan dalam proses ini (seperti terjadinya gangguan pendengaran), akan menimbulkan masalah.

    A. Perkembangan Bahasa Anak Tunarungu

    Telah dikemukakan di atas bahwa dalam banyak hal dampak yang paling serius dari ketunarunguan yang terjadi pada masa prabahasa terhadap perkembangan individu adalah dalam perkembangan bahasa lisan, dan akibatnya dalam kemampuannya untuk belajar secara normal di sekolah yang sebagian besar didasarkan atas pembicaraan guru, membaca dan menulis. Seberapa besar masalah yang dihadapi dalam mengakses bahasa itu bervariasi dari individu ke individu. Ini tergantung pada parameter ketunarunguannya, lingkungan auditer, dan karakteristik pribadi masing-masing anak, tetapi ketunarunguan ringan pada umumnya menimbulkan lebih sedikit masalah daripada ketunarunguan berat.

    1. Perkembangan Membaca

    Banyak penelitian yang dilakukan selama 30 tahun terakhir ini menunjukkan bahwa tingkat kemampuan membaca anak tunarungu berada beberapa tahun di bawah anak sebaya/sekelasnya dan bahwa bahasa tulisnya sering mengandung sintaksis yang tidak baku dan kosakata yang terbatas.
    Terdapat bukti yang jelas bahwa berdasarkan tes prestasi membaca yang baku, skor anak-anak tunarungu secara kelompok berada di bawah norma anak-anak yang dapat mendengar, meskipun beberapa di antara mereka memperoleh skor normal untuk tingkat usia dan kelasnya.
    Sejumlah penelitian telah dilakukan selama bertahun-tahun oleh Pusat Asesmen dan Studi Demografik di Gallaudet University di Washington DC. Di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Gentile (1973), yang mengetes lebih dari 16.000 siswa tunarungu dengan Stanford Achievement Test. Dia menemukan bahwa pada usia enam tahun skornya adalah ekuivalen dengan kelas 1,6, naik terus secara perlahan hingga menjadi ekuivalen dengan kelas 4,4 pada usia 19 tahun; kenaikan hanya sebesar 2,8 kelas selama 13 tahun.
    Temuan yang hampir sama dilaporkan di Inggris oleh Conrad (1979), yaitu bahwa mean usia baca anak-anak tunarungu tamatan pendidikan dasar adalah nine tahun 4 bulan, yang berkisar dari 10 tahun 4 bulan untuk tunarungu sedang hingga 8 tahun 3 bulan untuk tunarungu sangat berat.
    Data dari Australia juga serupa. Ditemukan bahwa 66% dari sampel siswa tunarungu usia 11 tahun di negara-negara bagian Australia sebelah timur menunjukkan usia baca lebih dari 4 tahun di bawah usia kalendernya (Ashman & Elkins, 1994).
    Di Selandia Baru, VandenBerg (1971) menemukan bahwa dari semua siswa SLB bagi tunarungu yang berusia hingga 14 tahun, tidak ada yang mencapai usia baca di atas 11 tahun.
    Data di atas tampak menunjukkan bahwa anak tunarungu mengalami kesulitan dalam membaca dan bahwa mereka semakin tertinggal oleh sebayanya yang dapat mendengar di kelas-kelas yang lebih tinggi di mana materi bacaan yang harus dibacanya semakin kompleks. Akan tetapi, Moores (1987) mengemukakan penjelasan lain untuk hasil penelitian tersebut. Sebagian besar penelitian itu dilakukan secara cross‑sectional, tidak mengikuti kemajuan siswa yang sama dan mengetesnya setiap tahun, sehingga mungkin bahwa tingkat kecacatan yang berbeda pada tahun yang berbeda akan mempengaruhi hasil tes itu, dan bahwa pemindahan siswa yang berkemampuan lebih tinggi ke sekolah reguler menyebabkan siswa ini tidak tercakup dalam survey sehingga hasil tes pada usia yang lebih tinggi skor rata-ratanya menurun.
    Satu penelitian oleh Allen (1986) mengatasi persoalan ini dengan melihat data dari hasil Stanford Achievement Test terhadap populasi tunarungu (kategori Hearing‑Impaired) pada tahun 1974 dan 1983. Skor tersedia dari usia 8 hingga 18 tahun, dan dia menemukan bahwa dari tahun 1974 hingga 1983 skor membaca sampel tunarungu itu meningkat setiap tahun.
    Walker dan Rickards (1992) di Victoria, Australia, juga telah memperoleh data yang menunjukkan bahwa anak tunarungu tertentu lebih baik hasilnya pada tes baku prestasi membaca daripada yang dilaporkan sebelumnya.
    Terus meningkatnya skor tes membaca anak tunarungu ini mungkin disebabkan oleh metode pengajaran membaca yang lebih baik. Argumen ini didukung oleh Ewoldt (1981) yang menemukan bahwa proses yang dipergunakan oleh anak tunarungu dalam membaca sama dengan yang dipergunakan oleh anak yang dapat mendengar, dan bahwa bila membaca mereka ditelaah menggunakan teknik yang tepat, ternyata mereka dapat lebih banyak memahami apa yang dibacanya.

    2. Bahasa tulis

    Dalam hal bahasa tulis, terdapat juga cukup banyak bukti bahwa anak tunarungu mengalami kesulitan untuk mengekspresikan dirinya secara tertulis. Dalam beberapa penelitian yang berfokus pada ketepatan sintaksis bahasa Inggris tertulis anak tunarungu, ditemukan bahwa mereka cenderung menggunakan banyak frase yang sama secara berulang-ulang dalam kalimat sederhana, lebih sedikit kalimat majemuk, dan mereka membuat banyak kesalahan kecil dalam penggunaan tenses, kata bilangan, penggunaan kata ganti dan kata penunjuk, dll. Menjelang usia 12 tahun, mereka cenderung dapat menguasai penulisan kalimat-kalimat sederhana, tetapi bila mereka mencoba menulis kalimat yang lebih kompleks, kesalahan-kesalahan kecil muncul lagi. Akan tetapi, belum ada laporan hasil penelitian tentang tingkat keterbacaan tulisan anak tunarungu, tetapi jika penyimpangan-penyimpangan dalam sintaksis diabaikan, bahasa tulis kebanyakan anak tunarungu dapat dimengerti dengan mudah, sehingga penggunaan bahasa tulisnya (yang sering mereka pergunakan untuk berinteraksi dengan orang yang dapat mendengar) biasanya dapat memungkinkan mereka berfungsi dengan cukup baik dalam kehidupan sehari-hari.
    Perlu juga diketahui bahwa terdapat sejumlah orang tunarungu, termasuk yang ketunarunguannya berat sekali, yang dapat mencapai tingkat kemampuan membaca dan menulis yang normal.

    3. Ujaran (Speech)

    Banyak penelitian yang telah dilakukan tentang keterpahaman ujaran anak tunarungu pada berbagai tingkatan ketunarunguannya. Keterpahaman ujaran individu tunarungu bervariasi dari hampir normal hingga tak dapat dipahami sama sekali, kecuali oleh mereka yang mengenalnya dengan baik.
    Hasil penelitian yang terkenal adalah yang dilakukan oleh Hudgins dan Numbers (1942), yang menganalisis ujaran 192 anak tunarungu berat dan berat sekali. Mereka menemukan bahwa kekurarngan dalam ujaran anak-anak ini adalah dalam hal ritme dan pemengalan frasa, suaranya agak monoton dan tidak ekspresif, dan tidak dapat menghasilkan warna suara yang alami. Mereka juga menemukan bermacam-macam kesalahan artikulasi pada bunyi-bunyi ujaran tertentu (kesalahan artikulasi vokal biasanya lebih sering daripada konsonan). Hudgins dan Numbers menemukan bahwa kurang dapat dipahaminya ujaran individu tunarungu itu lebih banyak diakibatkan oleh tidak normalnya ritme dan pemenggalan frasa daripada karena kesalahan artikulasi.

    Terdapat tiga cara utama individu tunarungu mengakses bahasa, yaitu dengan membaca ujaran, dengan mendengarkan (bagi mereka yang masih memiliki sisa pendengaran yang fungsional), dan dengan komunikasi manual, atau dengan kombinasi ketiga cara tersebut.

    a. Mengakses Bahasa Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)

    Hanya sekitar 50% bunyi ujaran bahasa Inggris dapat terlihat pada bibir (Berger, 1972). Di antara 50% lainnya, sebagian dibuat di belakang bibir yang tertutup atau jauh di bagian belakang mulut sehingga tidak kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak sama sehingga pembaca bibir tidak dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa prabahasa. Seseorang dapat menjadi pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuan yang baik tentang struktur bahasa sehingga dapat membuat dugaan yang tepat mengenai bunyi-bunyi yang "hilang" itu. Jadi orang tunarungu yang bahasanya normal biasanya merupakan pembaca ujaran yang lebih baik daripada tunarungu prabahasa, dan bahkan terdapat bukti bahwa orang non-tunarungu tanpa latihan dapat membaca bibir lebih baik daripada orang tunarungu yang terpaksa harus bergantung pada cara ini (Ashman & Elkins, 1994).

    b. Mengakses Bahasa Melalui Pendengaran

    Meskipun dalam lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang dapat dikenali oleh tunarungu berat secara cukup baik untuk memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur sintaksis dan fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi ini tidak berarti bahwa penyandang ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat memperoleh manfaat dari bunyi yang diamplifikasi. Yang menjadi masalah besar dalam hal ini adalah bahwa individu tunarungu jarang dapat mendengarkan bunyi ujaran dalam kondisi optimal. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan individu tunarungu tidak dapat memperoleh manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar yang dipergunakannya. Di samping itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar alat bantu dengar yang dipergunakan individu tunarungu itu tidak berfungsi dengan baik akibat kehabisan batrai dan earmould yang tidak cocok.

    c. Mengakses Bahasa Melalui Isyarat Tangan

    Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa bahasa isyarat yang baku memberikan gambaran lengkap tentang bahasa kepada tunarungu, sehingga mereka perlu mempelajarinya dengan baik. Akan tetapi tidak semua siswa tunarungu menggunakan bahasa isyarat, terutama yang pengajarannya menggunakan metode oral/aural.

    B. Bahasa dan Kognisi

    Hal yang telah lama diperdebatkan dalam bidang pendidikan bagi anak tunarungu adalah apakah ketunarunguan mengakibatkan kelambatan dalam perkembangan kognitif dan/atau perbedaan dalam struktur kognitif (berpikir) individu tunarungu; ini mungkin karena dampaknya terhadap perkembangan bahasa. Sekurang-kurangnya sejak masa Aristotle, orang tunarungu dianggap sebagai tidak mampu bernalar. Pada zaman modern argumen ini mulai dengan munculnya gerakan pengetesan inteligensi selama dan sesudah Perang Dunia I. Dalam tes kelompok yang menggunakan kertas dan pensil yang dilakukan oleh Rudolf Pintner dan lain-lain, dan kemudian dengan tes inteligensi individual, pada umumnya menemukan bahwa subyek tunarungu sangat rendah dalam inteligensinya, dengan IQ rata-rata pada kisaran 60-an atau bahkan 50-an. Akan tetapi, kemudian disadari bahwa meskipun skor tes yang rendah itu dapat mencerminkan adanya defisit bahasa pada individu tunarungu dan akibatnya sering berkurang pula pengetahuannya tentang hal-hal yang ditanyakan dalam tes IQ, tetapi skor tersebut belum tentu mencerminkan kapasitas individu tunarungu yang sesungguhnya bila masalah bahasanya dapat diatasi. Perkembangan alat-alat tes sesudah Perang Dunia II yang memisahkan antara elemen verbal dan kinerja (performance) dalam item-item tes inteligensi, menunjukkan bahwa meskipun rata-rata skor tes verbalnya sekitar 60, yang mencerminkan defisit bahasa testee, tetapi skor rata-rata hasil tes kinerjanya pada umumnya berada pada kisaran normal, baik dalam mean-nya maupun distribusinya, bila subyek tunarungu itu tidak menyandang ketunaan lain. Akan tetapi, kini terdapat kecenderungan meningkatnya jumlah populasi tunarungu yang menyandang ketunaan tambahan, sebagai akibat dari meningkatnya kemajuan dalam bidang kedokteran, sehingga bayi tunarungu yang menyandang ketunagandaan dapat bertahan hidup (Moores, 1987). Akibatnya, secara kelompok, skor tes inteligensi individu tunarungu menjadi lebih rendah.
    Akhir-akhir ini, minat para ahli bergeser dari masalah tingkat rata-rata inteligensi individu tunarungu secara umum serta distribusinya ke masalah struktur kognitifnya dan ke masalah apakah berpikir itu dapat dilakukan tanpa bahasa. Yang paling menonjol dalam bidang ini adalah Hans Furth, yang karyanya dituangkan dalam bukunya yang berjudul Thinking Without Language (1966). Sebagai hasil dari banyak penelitian yang dilakukannya, Furth menyimpulkan bahwa defisit bahasa tidak merintangi orang tunarungu untuk berpikir secara normal, karena bila dia mengontrol pengaruh bahasa terhadap sejumlah besar tugas kognitif, ditemukannya bahwa kinerja subyek tunarungu sedikit sekali perbedaannya dengan sebayanya yang non-tunarungu. Jika perbedaan itu muncul, dia berpendapat bahwa hal itu diakibatkan oleh kurangnya pengalaman atau tidak dikenalnya tugas-tugas atau konsep-konsep yang diujikan, bukan karena defisit kognitif secara umum akibat ketunarunguan dan/atau akibat defisit bahasa. Furth dan rekan-rekan penelitinya menunjukkan bahwa ketunarunguan semata tidak berpengaruh terhadap penalaran, ingatan ataupun variabel-variabel kognitif lainnya.

    Referensi Utama

    Ashman, A. & Elkins, J. (eds.). (1994, pp. 412-422). Educating Children with Special Needs. Sidney: Prentice Hall of Australia Pty Ltd

    Label: