Buku Tamu

Anda adalah pengunjung ke
free stats

View My Stats

  • Silakan isi Buku Tamu saya. Terimakasih.
  • Lihat Buku Tamu




  • Google




    06 April 2008

    KOGNISI: Pengorganisasian, Perkembangan, dan Perubahannya

    Bagaimanakah kognisi individu terorganisasi? Bagaimanakah kognisi berkembang? Apakah yang mempengaruhi properti suatu kognisi? Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi perubahan kognisi? Bagaimana kognisi individu menentukan caranya mempersepsi dan Menilai Orang lain? Bagaimana kognisi individu menentukan ketepatan Persepsi Interpersonal? Silakan baca lebih lanjut di:
    KOGNISI: Pengorganisasian, Perkembangan, dan Perubahannya

    Label:

    04 April 2008

    Inklusi bagi Siswa Tunarungu

    Oleh Didi Tarsidi dan Permanarian Somad

    I. Pendahuluan

    Kerangka Aksi mengenai Pendidikan Kebutuhan Khusus (Unesco, 1994) mengakui prinsip bahwa sekolah seyogyanya mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial, emosi, linguistik ataupun kondisi‑kondisi lainnya. Ini seyogyanya mencakup anak cacat dan anak berbakat, anak jalanan dan anak kaum buruh, anak dari penduduk terpencil ataupun pengembara, anak dari kelompok masyarakat minoritas secara linguistik, etnik ataupun budaya. Kondisi‑kondisi tersebut menciptakan berbagai macam tantangan bagi sistem persekolahan.
    Dalam konteks Kerangka Aksi tersebut, istilah "kebutuhan pendidikan khusus" mengacu pada semua anak dan remaja yang kebutuhannya timbul akibat kecacatan atau kesulitan belajarnya. Banyak anak mengalami kesulitan belajar dan oleh karenanya memiliki kebutuhan pendidikan khusus pada saat mereka sedang menempuh pendidikannya. Sekolah harus mencari cara agar berhasil mendidik semua anak, termasuk mereka yang memiliki kekurangan dan kecacatan yang parah. Terdapat satu konsensus internasional bahwa anak dan remaja yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus seyogyanya tercakup dalam perencanaan pendidikan yang dibuat untuk anak pada umumnya. Hal tersebut telah membawa kita pada konsep pendidikan inklusif.

    Makalah ini akan membahas pengertian inklusi, sejarah perkembangan praktek inklusi bagi anak tunarungu, status inklusi bagi anak tunarungu saat ini, keunggulan dan kelemahan model inklusi, hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam implementasi pendidikan inklusif, ,dan kemungkinan implementasi inklusi bagi anak tunarungu di Indonesia.


    II. Pengertian Inklusi

    Yang dimaksud dengan inklusi bagi anak tunarungu adalah pendidikannya yang dilaksanakan di dalam kelas reguler bersama-sama dengan siswa-siswa yang berpendengaran normal (Nowell & Innes, 1997). Inklusi berbeda dengan mainstreaming atau integrasi. Dalam integrasi terdapat berbagai tingkatan kontak dengan siswa-siswa non-tunarungu, dari tingkatan kontak minimal hingga tingkatan kontak optimal, sedangkan dalam inklusi, siswa tunarungu benar-benar ditempatkan sekelas dengan siswa non-tunarungu di dalam kelas reguler. Inklusi didukung oleh sejumlah layanan untuk memenuhi kebutuhan khusus anak tunarungu yang mencakup layanan interpreter, juru catat, guru bantu, guru pembimbing khusus bagi tunarungu, dan konsultan, dan layanan-layanan ini diberikan dalam konteks kelas reguler.


    III. Sejarah Perkembangan Praktek Inklusi bagi Anak Tunarungu

    Sebelum tahun 1975, meskipun telah ada berbagai upaya untuk mendidik anak tunarungu di sekolah reguler, sekitar 80% siswa tunarungu di Amerika Serikat dilayani di sekolah-sekolah khusus (Cohen, 1995). Hal ini berubah dengan diberlakukannya Public Law 94‑142 pada tahun tersebut. Undang-undang pendidikan anak penyandang cacat Amerika Serikat menuntut agar semua anak dididik dalam "lingkungan yang paling tidak membatasi" (least restrictive environment), yang berarti bahwa sedapat mungkin mereka harus dididik di dalam lingkungan tempat tinggalnya bersama-sama dengan teman-temannya yang tidak cacat. Pada awalnya, meskipun undang-undang tersebut mengakibatkan sejumlah siswa tunarungu dididik di kelas reguler, tetapi kebanyakan masih ditempatkan di kelas khusus di lingkungan sekolah reguler, dan kontak dengan siswa-siswa non-tunarungu hanya dalam kegiatan-kegiatan non-akademik. Sekitar 20 tahun kemudian perubahan yang nyata terjadi. Menurut Cohen (1995), pada tahun 1995, lebih dari 60% siswa tunarungu dididik di sekolah reguler meskipun tidak jelas berapa di antara mereka yang memperoleh layanan model inklusi yang sesungguhnya. Menurut laporan tahunan Pusat Asesmen dan Studi Demografik (CADS) di Gallaudet University (Schildroth & Hotto, 1996, dalam Easterbrooks, 1997), hanya 21% siswa tunarungu di Amerika serikat bersekolah di sekolah berasrama (residential school) khusus bagi tunarungu, 8% di sekolah khusus pulang hari (day school), dan 70% di sekolah-sekolah reguler di lingkungan tempat tinggalnya.
    Hal serupa terjadi juga di Australia dan Selandia Baru. Sebagian besar anak tunarungu dididik di kelas-kelas reguler dengan dukungan guru kunjung khusus bagi tunarungu. Akan tetapi masih banyak juga yang dididik di unit-unit khusus di sekolah reguler, tetapi untuk kegiatan-kegiatan belajar tertentu mereka diintegrasikan dengan siswa-siswa lain di sekolahnya. Hanya sedikit anak tunarungu yang dididik di sekolah khusus bagi tunarungu, dan anak-anak ini pun sering kali diintegrasikan ke sekolah-sekolah reguler untuk kegiatan-kegiatan tertentu (Ashman & Elkins, 1994).
    Di Indonesia, hingga saat ini pendidikan bagi anak tunarungu masih dilaksanakan secara eksklusif di SLB/B. Akan tetapi, secara kasus, telah ada orang tua yang menyekolahkan anaknya yang tunarungu ke sekolah reguler tingkat lanjutan, meskipun pendidikan tingkat dasarnya dilaksanakan di SLB/B.

    IV. Status Inklusi bagi Anak Tunarungu Saat Ini

    Penerapan inklusi bagi siswa tunarungu masih menjadi bahan perdebatan, terutama dalam cara menafsirkan istilah "least restrictive environment" (Nowell & Innes, 1997). Dari perdebatan tersebut muncul dua pandangan umum terhadap inklusi. Satu pandangan mengatakan bahwa semua siswa penyandang cacat berhak bersekolah bersama-sama dengan teman-teman sebayanya yang tidak cacat. Pandangan lainnya biasanya diberi label "full inclusion" (inklusi penuh) dan lebih keras, yaitu pandangan bahwa semua siswa penyandang cacat seyogyanya bersekolah di sekolah reguler. Pandangan pertama konsisten dengan pendapat bahwa sebaiknya tersedia berbagai opsi penempatan pendidikan bagi siswa tunarungu, sedangkan pandangan kedua pada umumnya konsisten dengan penghapusan semua sekolah khusus bagi tunarungu.
    Di Norwegia, organisasi tunarungu dengan gigih mempertahankan sekolah-sekolah khusus bagi tunarungu. Mereka berargumen bahwa siswa tunarungu berhak bersekolah di sekolah khusus bukan karena kecacatannya melainkan karena keunikan bahasanya.


    V. Keunggulan dan Kelemahan Inklusi

    Pengalaman negara-negara yang telah mengimplementasikan pendidikan inklusif mencatat adanya keunggulan maupun kelemahan sistem ini.
    Keunggulan inklusi mencakup:
    1) Anak tunarungu berkesempatan untuk tetap tinggal di rumahnya. Populasi tunarungu tersebar secara meluas, sedangkan sekolah-sekolah khusus bagi tunarungu terpusat di tempat-tempat tertentu (pada umumnya di kota-kota besar) sehingga sering kali anak harus terpisah dari lingkungan keluarganya untuk dapat memperoleh pendidikan. Pendidikan yang dilaksanakan secara inklusif dapat mengatasi masalah ini.
    2) Anak tunarungu lebih berkesempatan untuk berkomunikasi dengan masyarakat non-tunarungu. Pergaulan sehari-hari dengan siswa-siswa non-tunarungu dalam setting inklusi dapat membantu siswa tunarungu mengembangkan secara lebih baik kemampuannya untuk berkomunikasi dengan orang-orang non-tunarungu, sehingga mereka akan mengembangkan keterampilan komunikasi yang lebih baik yang akan sangat diperlukan dalam aktivitas kehidupannya di kemudian hari.
    3) Kesempatan untuk belajar norma-norma masyarakat non-tunarungu. Anak tunarungu yang bersekolah di sekolah reguler akan dapat menguasai norma-norma masyarakat non-tunarungu secara lebih baik daripada mereka yang terkungkung dalam “budaya tunarungu” di sekolah-sekolah khusus bagi tunarungu.
    4) Tersedianya pilihan yang lebih banyak dalam program akademik ataupun program kejuruan. Sekolah-sekolah reguler mungkin dapat menawarkan lebih banyak pilihan program pendidikan daripada sekolah khusus bagi tunarungu.

    Akan tetapi, sistem inklusi pun tidak luput dari kelemahan, yang mencakup:
    1) Anak berpeluang untuk terkucil dari guru-guru, teman-teman sebaya, serta anggota-anggota lainnya dari komunitas sekolahnya. Lingkungan inklusif mungkin tidak terdiri dari individu-individu yang mampu berkomunikasi dalam bahasa atau cara komunikasi yang lebih disukai oleh anak tunarungu.
    2) Terbatasnya kesempatan untuk memperoleh pengajaran langsung. Karena guru reguler tidak menguasai cara komunikasi yang dipergunakan oleh siswa yang tunarungu, pengajaran sering disampaikan melalui perantaraan interpreter.
    3) Kesempatan untuk berkomunikasi dan berinteraksi langsung secara mandiri dengan teman sebaya serta staf pendukung kegiatan belajar/mengajarnya sering terbatas. Siswa tunarungu sering harus bergantung pada interpreter untuk berkomunikasi secara efektif dengan teman sebayanya dan staf sekolahnya. Konselor sekolah, staf medis, dan administrator sering tidak dapat berkomunikasi langsung dengan siswa yang tunarungu, yang mengakibatkan terbatasnya akses mereka ke layanan pendukung yang disediakan oleh sekolah bagi semua siswa.
    4) Kurangnya staf pendukung, baik dalam jumlah maupun kualitasnya. Tidak semua sekolah dapat menyediakan interprerter atau staf pendukung lainnya yang berkualitas dalam jumlah yang cukup untuk memberikan tingkat akses komunikasi ke proses pendidikan secara memadai.


    V. Hal-hal Yang Perlu Dipertimbangkan dalam Implementasi Pendidikan Inklusif

    Sebelum memutuskan untuk memilih opsi inklusi dalam pendidikan bagi anak tunarungu, orang tua serta para profesional perlu mengajukan pertanyaan berikut ini: Apakah lingkungan inklusif ini akan memberikan kesempatan yang diperlukan anak tunarungu untuk dapat berkembang secara intelektual, sosial, ataupun emosional?

    Untuk menjawab pertanyaan yang sangat penting ini secara memadai, beberapa pertanyaan terkait lainnya perlu diajukan, yang mencakup:
    1) Bagaimanakah tingkat ketunarunguan anak dan tingkat kemampuannya untuk memanfaatkan sisa pendengarannya?
    2) Cara komunikasi apakah yang lebih disukai oleh anak itu? Apakah cara tersebut dipergunakan di lingkungan sekolah yang bersangkutan?
    3) Apakah anak tunarungu itu akan memperoleh akses ke layanan captioning, juru catat, alat bantu dengar, TTY, dan penggunaan alat-alat asistif lainnya?
    4) Bagaimanakah tingkat kemampuan akademik anak itu?
    5) Bagaimanakah tingkat komunikasi langsung yang dapat terjalin antara anak tunarungu dengan guru dan teman-temannya di dalam lingkungan itu?
    6) Apakah kemampuan bahasanya serta kebutuhan-kebutuhan anak itu akan memperoleh perhatian yang semestinya?
    7) Apakah di dalam lingkungan itu akan terdapat anak tunarungu lain untuk teman bersosialisasi?
    8) Apakah sekolah itu akan dilengkapi dengan staf yang berkualifikasi dan memiliki sertifikasi untuk melayani anak tunarungu?
    9) Apakah sekolah itu menyediakan berbagai instrumen asesmen yang dirancang khusus untuk dipergunakan bagi siswa tunarungu? 10) Apakah di sekolah itu tersedia personel yang dapat melaksanakan asesmen dalam bahasa dan cara komunikasi yang dikuasai anak?
    11) Bagaimanakah tingkat akses yang akan diperoleh anak ke kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler?
    12) Apakah terdapat individu tunarungu yang dapat dijadikan model oleh anak tunarungu di lingkungan sekolah itu?

    Semakin tinggi persentase untuk jawaban ya bagi pertanyaan-pertanyaan di atas, akan semakin tinggi pula tingkat keberhasilan model pendidikan inklusif bagi siswa tunarungu di sekolah itu.


    VII. Kesimpulan dan Implikasi

    Pendidikan inklusif didasarkan atas pandangan falsafah bahwa penyandang cacat merupakan bagian yang integral dari masyarakat “normal”, dan oleh karenanya seyogyanya layanan pendidikannya pun seyogyanya merupakan bagian yang integral dari sistem pendidikan reguler.
    Pendidikan inklusif akan terselenggara dengan baik apabila didukung oleh faktor‑faktor berikut:
    a. Peraturan perundang‑undangan yang lebih inklusif, fasilitatif dan non‑diskriminatif;
    b. Kesadaran dan sikap masyarakat umum terhadap kesamaan hak yang sesungguhnya bagi setiap warga, termasuk warga penyandang cacat, dalam setiap aspek hidup dan kehidupan bermasyarakat;
    c. Fleksibilitas kurikulum agar sekolah memiliki kebebasan untuk mengembangkan kurikulum yang dapat memenuhi kebutuhan individual setiap anak dalam proses belajarnya;
    d. Guru‑guru reguler yang memiliki pengetahuan dan keterampilan dasar tentang layanan bagi anak berkebutuhan khusus;
    e. Pusat sumber yang menyediakan peralatan khusus untuk membantu memenuhi kebutuhan pendidikan anak penyandang kebutuhan khusus di sekolah reguler;
    f. Pusat layanan yang menyediakan bantuan khusus bagi guru‑guru reguler dalam melayani anak berkebutuhan khusus.

    Pusat sumber dan pusat layanan tersebut dapat dikembangkan dari SLB yang ada, dan upaya yang sistematis sudah mulai dilakukan ke arah itu.

    Agar inklusi bagi anak tunarungu dapat terlaksana dengan baik, secara ideal sekolah reguler harus dilengkapi dengan hal-hal sebagai berikut:
    1) Sarana dan layanan pendukung yang mencakup: alat captioning (yaitu alat yang menampilkan tayangan tertulis untuk menyertai penjelasan lisan dari guru); alat bantu dengar yang sesuai dengan tingkat sisa pendengaran anak; TTY (teletypewriter, yaitu alat komunikasi tertulis antara individu tunarungu dengan mereka yang dapat mendengar); dan alat-alat asistif lainnya yang membantu komunikasi.
    2) Staf yang berkualifikasi dan memiliki sertifikasi untuk melayani anak tunarungu.
    3) Berbagai instrumen asesmen yang dirancang khusus untuk dipergunakan terhadap siswa tunarungu.
    4) Personel yang dapat melaksanakan asesmen dalam bahasa dan cara komunikasi yang dikuasai anak.
    Untuk kondisi ekonomi Indonesia saat ini, fasilitas pendukung yang paling sulit disediakan bagi anak-anak tunarungu di sekolah reguler mungkin adalah alat-alat teknologi asistif seperti alat captioning dan TTY. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa langkah-langkah menuju implementasi inklusi belum dapat dimulai.


    Referensi

    Ashman, A. & Elkins, J. (eds.). (1994). Educating Children with Special Needs. Sidney: Prentice Hall of Australia Pty Ltd

    Cohen, O.P. (1995). Perspectives on the full inclusion movement in the education of deaf children. In B. Snider (Ed.), Conference proceedings: Inclusion: Defining quality education for deaf and hard‑of‑hearing students. Washington, DC: College of Continuing Education, Gallaudet University

    Easterbrooks, S. (1997). Educating Children Who Are Deaf or Hard of Hearing: Overview. The ERIC Clearinghouse on Disabilities and Gifted Education (ERIC EC). Digests e549.

    Nowell, R. & Innes, J. (1997). Educating Children Who Are Deaf or
    Hard of Hearing: Inclusion. The ERIC Clearinghouse on Disabilities and Gifted Education (ERIC EC). ERIC EC Digest #E557.

    UNESCO (1994). THE SALAMANCA STATEMENT AND FRAMEWORK FOR ACTION ON SPECIAL NEEDS EDUCATION. World Conference on Special Needs Education: Access and Quality. Unesco & Ministry of Education and Science, Spain. Salamanca, Spain, 7‑10 June 1994.

    Label:

    Definisi dan Klasifikasi Tunarungu

    Oleh Permanarian Somad dan Didi Tarsidi

    (Informasi berikut ini diambil dari Easterbrooks (1997) dan Ashman & Elkins (1994)).

    I. Pengertian Dan Klasifikasi Ketunarunguan Berdasarkan Penyebabnya

    Ketunarunguan (hearing loss) adalah satu istilah umum yang menggambarkan semua derajat dan jenis kondisi tuli (deafness) terlepas dari penyebabnya dan usia kejadiannya. Sejumlah variabel (derajat, jenis, penyebab dan usia kejadiannya) berkombinasi di dalam diri seorang siswa tunarungu mengakibatkan dampak yang unik terhadap perkembangan personal, sosial, intelektual dan pendidikannya, yang pada gilirannya hal ini akan mempengaruhi pilihan gaya hidupnya pada masa dewasanya (terutama kelompok sosial dan pekerjaannya). Akan tetapi, sebagaimana halnya dengan kehilangan indera lainnya, ketunarunguan (terutama bila tidak disertai kecacatan lain) pada dasarnya merupakan permasalahan sosial dan tidak mesti merupakan suatu ketunaan (disability) kecuali jika milieu sosial tempat tinggal individu itu membuatnya demikian.
    Terdapat tiga jenis utama ketunarunguan menurut penyebabnya:

    1. Conductive loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat gangguan pada bagian luar atau tengah telinga yang menghambat dihantarkannya gelombang bunyi ke bagian dalam telinga.

    2. Sensorineural loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat kerusakan pada bagian dalam telinga atau syaraf pendengaran yang mengakibatkan terhambatnya pengiriman pesan bunyi ke otak.

    3. Central auditory processing disorder, yaitu gangguan pada sistem syaraf pusat proses pendengaran yang mengakibatkan individu mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya meskipun tidak ada gangguan yang spesifik pada telinganya itu sendiri. Anak yang mengalami gangguan pusat pemerosesan pendengaran ini mungkin memiliki pendengaran yang normal bila diukur dengan audiometer, tetapi mereka sering mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya.

    Seorang anak dapat juga mengalami kombinasi bentuk-bentuk ketunarunguan tersebut.

    II. Definisi dan Klasifikasi Berdasarkan Keberfungsian Pendengaran

    Berdasarkan tingkat keberfungsian telinga dalam mendengar bunyi, ketunarunguan dapat diklasifikasikan ke dalam empat kategori, yaitu:

    1. Ketunarunguan ringan (mild hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 20-40 dB (desibel). Mereka sering tidak menyadari bahwa sedang diajak bicara, mengalami sedikit kesulitan dalam percakapan.

    2. Ketunarunguan sedang (moderate hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 40-65 dB. Mereka mengalami kesulitan dalam percakapan tanpa memperhatikan wajah pembicara, sulit mendengar dari kejauhan atau dalam suasana gaduh, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar (hearing aid).

    3. Ketunarunguan berat (severe hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 65-95 dB. Mereka sedikit memahami percakapan pembicara bila memperhatikan wajah pembicara dengan suara keras, tetapi percakapan normal praktis tidak mungkin dilakukannya, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar.

    4. Ketunarunguan parah (profound hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 95 dB atau lebih keras. Percakapan normal tidak mungkin baginya, ada yang dapat terbantu dengan alat bantu dengar tertentu, sangat bergantung pada komunikasi visual.

    Perlu dijelaskan bahwa decibel (disingkat dB) adalah satuan ukuran intensitas bunyi. Istilah ini diambil dari nama pencipta telepon, Graham Bel, yang istrinya tunarungu, dan dia tertarik pada bidang ketunarunguan dan pendidikan bagi tunarungu. Satu decibel adalah 0,1 Bel.
    Bagi para fisikawan, decibel merupakan ukuran tekanan bunyi, yaitu tekanan yang didesakkan oleh suatu gelombang bunyi yang melintasi udara. Dalam fisika, 0 db sama dengan tingkat tekanan yang mengakibatkan gerakan molekul udara dalam keadaan udara diam, yang hanya dapat terdeteksi dengan menggunakan instrumen fisika, dan tidak akan terdengar oleh telinga manusia. Oleh karena itu, di dalam audiologi ditetapkan tingkat 0 yang berbeda, yang disebut 0 dB klinis atau 0 audiometrik. Nol inilah yang tertera dalam audiogram, yang merupakan grafik tingkat ketunarunguan. Nol audiometrik adalah tingkat intensitas bunyi terendah yang dapat terdeteksi oleh telinga orang rata-rata dengan telinga yang sehat pada frekuensi 1000 Hz.
    III. Definisi Berdasarkan Kebutuhan Pendidikan dan Budaya
    Banyak istilah di dalam bahasa Inggris yang dipergunakan untuk mengacu pada populasi individu yang menyandang ketunarunguan.

    1. Kata "deaf" menurut definisi Individuals with Disabilities Education Act, (undang-undang pendidikan bagi individu penyandang cacat Amerika Serikat) tahun 1990 adalah ketunarunguan yang berdampak negatif terhadap kinerja pendidikan individu dan demikian parah sehingga individu itu terganggu dalam kemampuanya untuk memproses informasi linguistik (komunikasi) melalui pendengaran, dengan ataupun tanpa amplifikasi (alat bantu dengar).

    2. Istilah "hard of hearing" berarti ketunarunguan, baik permanen maupun berfluktuasi, yang berdampak negatif terhadap kinerja pendidikan seorang individu tetapi yang memungkinkannya mempunyai akses ke komunikasi verbal pada tingkat tertentu dengan ataupun tanpa amplifikasi (IDEA 1990).

    3. Istilah "Deaf" yang ditulis dengan huruf D kapital mengacu pada individu penyandang ketunarunguan yang mengidentifikasi dirinya sendiri sebagai anggota "budaya tunarungu" (Deaf Culture. Individu-individu ini memandang dirinya sebagai satu populasi yang dipersatukan oleh kesamaan latar belakang budaya, kesamaan pengalaman, kesamaan riwayat keluarga (menikah dengan sesama tunarungu), dan kesamaan bahasa (yaitu American Sign Language (ASL).

    4. Istilah "hearing‑impaired" kini sering dipergunakan untuk mengacu pada mereka yang "deaf" maupun yang "hard of hearing".

    Istilah "deaf mute" dan "deaf and dumb" (tuli bisu) kini tidak dipergunakan lagi. Istilah tersebut tidak hanya dianggap kuno, tetapi juga dipandang ofensif.

    Survey tahun 1981 di Australia menemukan bahwa 59% dari populasi tunarungu menyandang ketunarunguan ringan, 11% sedang, 20% berat, dan 10% tidak dapat dipastikan (Cameron, 1982).


    Referensi

    Ashman, A. and Elkins, J. (eds.). (1994). Educating Children with Special Needs. Sidney: Prentice Hall of Australia Pty Ltd

    Easterbrooks, S. (1997). Educating Children Who Are Deaf or Hard of Hearing: Overview. The ERIC Clearinghouse on Disabilities and Gifted Education (ERIC EC). ERIC EC Digest #E549.

    Label: ,